Penamaan Nickname Santri Dalail

Kitab Dalailul Khairat (santrinews.com/istimewa)
Jika kita menyebut buku himpunan shalawat Nabi, maka kemungkinan pertama yang menjadi acuan adalah Diba’, setelah itu Burdah.
Selain keduanya, kita juga mengenal Simtut Duror (susunan Habib Ali Al-Habsyi) atau yang lebih baru, Ad-Dhiya’ul Lami’ (susunan Habib Umar bin Hafidz).
Himpunan salawat dari Indonesia—sekurang-kurangnya yang saya tahu—antara lain adalah susunan Habib Alwi bin Abubakar bin Ahmad Bilfaqih dari Sumenep.
Semua kitab shalawat lazimnya berbentuk syiir, menggunakan bahar atau metrum. Yang berbentuk prosa lirik, lebih-lebih yang populer—yang saya tahu—hanyalah Dalailul Khayrat, susunan Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli. Di dalamnya, terhimpun shlawat-salawat yang masyhur di hzamannya serta pujian yang ia susun sendiri.
Dengan begitu, Dalail merupakan perpaduan shalawat yang hadir sebagai ‘menu’ yang baru. Namun, yang menyedihkan adalah; ulama dari Abad IX Hijriyah ini dianggap syirik oleh Khalid bin Ali Al-Ghamidi di dalam bukunya Syarah Nawaqidl al-Islam”. Alasannya tak lain adalah karena Dalail berisi sanjungan berlebihan alias ‘ghuluw’ terhadap Nabi (sebagai manusia).
Tapi, mari lupakan itu karena ia sama saja dengan puisi-puisi kita saat menyanjung kekasih kita, pujaan hati kita, sama, bahkan bisa jadi kita lebih kebablasan saat memuji dan membuat hiperbola.
Buku Dalailul Khayrat yang dilengkapi dengan terjemahan sudah pernah diterbitkan oleh Penerbit Zaman. Saya pernah meneliti dan mengoreksinya. Sayangnya, dalam cetakan pertamanaya itu (2016), saya temukan lumayan banyak kesalahan penulisan, seperti penulisan kata āli (keluarga) yang tertukar dengan ‘alā (kepada), dan lain-lain.
Namun, bagi yang biasa membaca Dalail, kesalahan semacam ini tentu dengan mudah dapat dipahami. Tapi, bagi awam? Nah, itu dia masalahnya.
Dalail —jika kita dalami keindahan susunannya— akan serupa genre prosa lirik. Ibarat kata, Dalailul Khairat disusun secara prosaik tanpa metrum, tapi dengan tetap mengedepankan rima dan diksi.
Secara bentuk, ia ‘agak-agak’ seperti “Tukang Kebun”-nya Rabindranath Tagore. Tentu saja, secara isi, jelaslah Dalail ini jauh berbeda karena ia adalah sanjungan untuk Nabi Muhammad saw, sang manusia mulia, yang andai kita samakan sebagai batu, kitalah batu kerikil dan dia batu permata.
Dalail ditulis dengan bahasa yang puitis. Gaya yang paling banyak digunakan adalah repetisi, seperti penyebutan jumlah benda yang terhitung dan tak tak-terhitung dan lain sebagainya.
Dalam Dalail, terkandung lebih dari 400-an pujian untuk Nabi, termasuk di antaranya berupa pujian lewat nama-nama dan sifatnya. Nama-nama alias dari Nabi Muhammad SAW juga tercantum di sana. Ada kurang lebih 201 satu nama, seperti nama Ahid dan Yasin dan Toha.
Dalailul Khayrat dibagi menjadi delapan bagian. Pembagian ini berhubungan dengan metode pembacaan. Dan pembacaan/resitalnya bergantung kepada sang mujiz (orang yang memberikan ijazah).
Menurut Kiai Sufyan Miftahul Arifin, istilah ijazah untuk shalawat sebetulnya lebih cenderung kepada soal “pengawasan terhadap kesahihan bacaan” karena salawat itu—kata beliau—nyambungnya langsung ke Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, ijazah Dalail tetap menjadi hal penting yang harus dipegang dan dirawat oleh para pengamalnya.
Shalawat ini dibuka dengan nama-nama Allah yang elok nan agung (Asmaul Husna) dan dibagi menjadi delapan bagian. Jika dilakukan setiap hari, maka ia dibaca dari hari Senin (sesuai hari kelahiran Nabi) sampai ketemu Senin lagi.
Tarekat yang secara disiplin menjalankan pembacaan Dalailul Khayrat adalah Tarekat Syadziliyah yang biasanya punya sanad sampai ke Imam Hasan bin Ali, menantu Nabi Muhammad saw.
Dalam pertemuan tahunannya di Toronto, Dalail dibacakan di dalam suatu majlis dalam sekali duduk. Di Aceh, ada pula model begini, dibaca beramai-ramai. Adapun cara yang masyhur di tanah air adalah dibaca setiap hari dengan durasi waktu sekitar 10-20 menit atau lebih dari itu jika sembari dilanggamkan.
Model-model pembacaannya pun beragam, lagi-lagi bergantung kepada para mujiznya. Umumnya, Dalail memang dibaca setiap hari. Namun, ada pula yang dibaca satu minggu sekali, langsung khatam.
Ijazah Dalail ada juga yang harus disertai puasa berturut-turut selama beberapa tahun, seperti yang ijazahnya berasal dari Kiai Basyir, Kudus. Dan tampaknya, penyebutan ‘nickname’ atau julukan bis ini mengacu pada nama yang disebut terakhir ini. Wallahu a’lam (*)
M Faizi, kolumnis, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep.