Membangun Sumenep melalui Konsep Trilogi Pelajar

Bonus demografi di Indonesia memiliki ekses peningkatan partisipasi generasi muda dalam kanal aktivitas sosial-ekonomi yang selama ini cenderung diacuhkan, semisal peningkatan di bidang sosial, politik dan ekonomi.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak adalah contoh generasi muda yang hadir membawa perubahan sebagai kepala daerah dan didukung oleh mayoritas masyarakat.
Cibiran bagi anak muda yang maju dalam kontestasi politik hari ini harus ditinggalkan. Kedua tokoh muda tersebut terbukti menjadi bagian dari solusi permasalahan-permasalahan di daerah mereka.
Di bidang ekonomi ada nama seperti Nadiem Makarim pendiri Gojek, perusahaan Decacorn yang tumbuh karena kekuatan ide, gagasan dan krativitasnya. Alhasil, Nadiem sukses mengemas dan mengembangkan moda transportasi ojek era digital. Kini Ia pun dipercaya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Generasi muda memiliki keunggulan energi orisinalitas ide dan gagasan serta pendekatan khas yang tidak dimiliki oleh generasi di atasnya.
Hari ini Sumenep memiliki tantangan yang luar biasa. Angka kemiskinan di Sumenep pada 2018 mencapai 20,16%, masuk dalam kategori 5 besar Kabupaten/Kota dengan angka kemiskinan tertinggi di Jawa Timur. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumenep berada di angka 65,25. Masih di bawah IPM Jawa Timur 70,77 dan IPM Nasional yang mencapai 71,39.
Data tersebut menunjukkan, bahwa perlu dilakukan pembenahan dengan melakukan terobosan dan solusi transformatif melalui komando pemimipin yang memiliki energi kuat dengan gagasan baru. Dengan gagasan itu, Sumenep diharap bisa mengejar segala ketertinggalan dan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Sumenep.
Mewujudkan kesejahteraan di Sumenep harus dilakukan dengan memahami keinginan masyarakat dan memberikan ruang yang cukup bagi peningkatan partisipasi masyarakat. Dengan demikian setiap program pemerintah akan mendapatkan dukungan dan ownership (rasa memiliki) dari masyarakat.
Pendekatan seperti itu akan mudah dilakukan oleh misalnya, kader-kader IPNU-IPPNU yang terinternalisasi melalui konsep trilogi pelajar, yaitu belajar, berjuang dan bertakwa.
Syarat pemimpin sejatinya adalah mereka yang tidak berhenti dan terus menerus belajar, memilki jiwa pejuang, mau berkorban untuk rakyatnya, tidak mementingkan diri sendiri dan selalu menjaga koneksitas Ilahiah dengan ketakwaanya kepada Allah SWT. Kriteria pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan oleh Sumenep hari ini dan di masa yang akan datang.
Trilogi pelajar yang tertanam dalam sanubari pemimpin akan berperan dalam menghadirkan negeri baldatun thayyibatun warobbun ghofur, negeri yang penduduknya sejahtera dunia akhirat. Falsafah hidup yang dikembangkan tidak melulu mengejar pencapaian secara dhahir tapi selalu optimis menyambut perubahan demi perubahan dan selalu menjaga koneksitas Ilahiah bahwa setiap pemimpin akan mempertanggung jawabkan seluruh yang dilakukannya di hadapan Allah SWT.
Demokrasi di Indonesia yang diterapkan secara liberal juga menjadi tantangan. Virus pragmatisme menyebar ke seluruh kanal kehidupan sosial, ekonomi dan politik karena disuburkan oleh sistem yang liberal. Akibatnya, politik uang meracuni masyarakat. Sementara sirkulasi kepemimpinan ala demokrasi di Indonesia hari ini memegang teguh kebenaran bahwa pemimpin harus dipilih secara langsung oleh rakyat (one man, one vote).
Pemahaman demokrasi terjebak pada tataran demokrasi prosedural, hanya sekedar bagaimana cara memilih pemimpin. Padahal makna demokrasi adalah penanaman nilai-nilai kedaulatan di tangan rakyat melalui mekanisme keterwakilan yang diakui dalam sistem bernegara seperti parpol, parlemen, senator yang semuanya merupakan representasi dari keterwakilan rakyat.
Trilogi pelajar IPNU-IPPNU harus mendarah daging terutama di kalangan generasi muda NU. Mereka harus proaktif mengambil bagian dalam upaya transformasi nasional dengan modal jumlah penduduk usia produktif yang cukup besar.
Baca juga: Sumenep Butuh Sosok Pemimpin Seperti Arya Wiraraja
Bonus demografi seperti yang dialami bangsa Indonesia hari ini sudah pernah dialami Jepang pada 1950-an. Jumlah penduduk usia produktif di Jepang saat itu mencapai 59%, dengan menanamkan falsafah hidup Kaizen (komitmen), Bushido (semangat kerja keras) dan Keishan (inovasi), akhirnya ketika bonus demografi Jepang berakhir di 1970-an, Jepang menjelma menjadi kekuatan ketiga dunia setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Apa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hari ini tidak kalah dari bangsa Jepang. Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung makna komitmen, semangat kerja keras dan inovasi untuk mewujudkan kesejahteraan kolektif. Bahkan Pancasila melampaui falsafah hidup Jepang.
Pancasila memiliki koneksitas Ilahiah dengan menempatkan deklarasi tauhid (keyakinan pada Tuhan) sebagai sila ke-1. Bangsa Indonesia mengakui bahwa ada kebenaran yang berasal dari selain pikiran (rasio) manusia, yaitu kebenaran yang datangnya dari wahyu Tuhan. Sementara bangsa Jepang cenderung antroposentris, menganggap sumber kebenaran hanya satu, yaitu dari pikiran (rasio) manusia.
Fakta-fakta yang tidak bisa dibenarkan oleh logika dianggap bukan kebenaran. Hal ini membuat masa kejayaan peradaban bangsa Jepang tidak bertahan lama. Penduduk Jepang enggan untuk memiliki keturunan, mereka hidup seperti robot yang hanya terpacu pada pencapaian-pencapaian nilai kapital, menghasilkan uang yang banyak dan bebas untuk melakukan apapun.
Kini, tongkat estafet tengah dipegang oleh generasi muda. Saatnya untuk bangkit, maju dan berlari mengejar ketertinggalan. Ketika jumlah usia produktif besar, maka harus disediakan wadah aktualisasi mereka. Fair ketika generasi muda harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti kontestasi politik, mengingat jumlah mereka besar dan pasti memiliki nilai elektabilitas.
Gap antar generasi bukanlah persoalan yang perlu dikhawatirkan. Mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menghadirkan mimpi perubahan menuju transformasi Sumenep baldatun thayyibatun warobbun ghofur.
Generasi muda sudah selayaknya diberi kesempatan. Mereka beri ruang aktualisasi dan berhenti memandang generasi muda sebagai generasi PUBG, generasi mobile legend, generasi selfie yang hedonis, serta segala stigma yang tidak mendidik.
Generasi muda punya hak untuk menyudahi virus liberalisme. Pragmatisme politik harus diakhiri, politik uang harus dihentikan. Demokrasi harus dipahami sebagai prinsip kedaulatan rakyat baik di sektor politik maupun ekonomi sehingga rakyat menggunakan peran yang sudah seharusnya dimiliki, yaitu berdaulat! (*)
Achmad Yunus, Ketua PAC IPNU Kota Sumenep 1999 – 2001, kini Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute.