In Memoriam Arief Santosa: Ingin Kaya Jangan Jadi Penulis, Jadi Pedagang Saja

Mendiang Arief Santosa (tengah) dan sang istri, Dewi Ratna Nengati, bersama Dirut Jawa Pos Leak Kustiyo saat menghadiri HUT Ke-70 Jawa Pos pada 1 Juli 2019 (santrinews.com/jawa pos)

Satu waktu di forum Komunitas Wong Moco Nulis (KWMN) di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Arief Santosa berujar: Kalau ingin kaya, jadi pedagang saja, jangan jadi penulis.

Itu tahun 2007 silam dan momen pertama saya melihat dan berdiskusi secara langsung dengan pengampu rubrik sastra dan budaya koran Jawa Pos itu. Kami memanfaatkan pertemuan itu agar bisa lebih dekat dengan Mas Arief dengan harapan ada karya salah satu dari kami tembus Jawa Pos.

Saat itu, IAIN (kini UIN) demam tulis-menulis. Selain KWMN, ada juga Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS) yang dibina oleh Profesor Nur Syam, kala itu Rektor IAIN Surabaya. KOMBAS paling aktif. Setiap hari kegiatan kami cuma empat: baca buku, diskusi, menulis minimal satu karya dalam seminggu, dan setiap pagi marung di warkop memeriksa tayang atau tidak karya kami di Jawa Pos.

Kami sedikit beruntung karena KOMBAS bermarkas di toko buku LKiS di IAIN, lembaga kajian dan penerbit kesohor saat itu terutama di lingkungan kampus Islam. Ada banyak buku dagangan yang boleh kami baca untuk dijadikan bahan diskusi dan menulis. Buku-buku baru terbit juga sering kami pinjam di toko buku berpusat di Yogyakarta itu untuk diresensi dan dikirim ke koran-koran, termasuk Jawa Pos.

Dua koran saat itu yang paling kami incar: Jawa Pos dan Kompas. Kami masih pemula. Karya dimuat di dua koran besar itu adalah kebanggaan. Karena itu, kami senang bukan kepalang ketika Mas Arief menuliskan nomor kontak pribadinya di papan sebelum mengakhiri diskusi tentang kepenulisan. Seolah memberi izin agar mengabari dirinya jika ada karya dikirim ke email Jawa Pos.

“Ini peluang bisa tembus Jawa Pos,” batin saya saat itu.

Perkiraan saya meleset. Beberapa kali mengirim karya, ada cerpen, esai, juga resensi buku, tapi tak nongol-nongol juga di Jawa Pos. Padahal, setelah mengirim tulisan lewat email, saya SMS Mas Arief mengabarkan kalau baru saja mengirim karya ke Jawa Pos.

Saya iri dengan beberapa teman yang sama-sama baru memulai dan karyanya tayang duluan di Jawa Pos. Ada Ahmad Muhlis Amrin dan Salman Rusydi Al-Anwar, teman satu daerah yang kala itu studi di Yogyakarta. Entah jadi apa keduanya kini. Mungkin karena keduanya berproses di Yogyakarta dan Mas Arief alumnus kampus di sana. Emosinya lebih nyambung, batin saya dalam selimut buruk sangka.

Dalam kecewa, saya ingat lagi cerita Mas Arief tentang beberapa penulis besar dunia yang menemukan jalan gemilang dan melahirkan karya besar setelah ratusan kali mengirimkan naskah ke koran atau penerbit. Ingat itu saya tak patah arang. Baru belasan karya yang saya kirim ke Jawa Pos, mungkin Mas Arief menguji kesabaran seorang penulis pemula.

Tapi sebetulnya bukan itu alasannya. Saya baru sadar karya yang saya kirim kacau-balau setelah saya baca lagi berulang-ulang. Bukan karena saya kuliah di Surabaya. Setelah mental terkumpul, saya baru berani mengakui: tulisanku jelek, pantesan Mas Arief tak memuatnya di Jawa Pos.

Setelah itu, seminggu sekali saya mengirim karya ke Jawa Pos. Saya berpikir, paling tidak Mas Arief menaruh iba setelah saya hujani karya dengan sejuta harapan dimuat. Satu kali kami di KOMBAS cangkruk di Pujasera Graha Pena dan mengobrol dengan Mas Arief. Harapan saya membonsai lagi. Tapi bulan berganti, karya yang saya kirim tak juga nongol.

Satu waktu menjelang pendaftaran ulang kuliah, saya kebingungan untuk membayar. Saya kirim satu cerpen ke Jawa Pos. Jika dimuat, honor lumayan diterima dan selesai urusan uang kuliah. Email terkirim, kemudian saya kirim pesan lewat SMS ke Mas Arief. Isi pesan sedikit didramatisasi. Saya jujur-jujuran bilang butuh duit buat kuliah.

Saya berharap Mas Arief berbelas kasih lalu memuat cerpen saya. Ternyata tidak. Di hari Minggu yang dinanti pagi-pagi betul saya cangkruk di warkop. Membaca Jawa Pos langsung di rubrik berisi sastra dan budaya. Hah, yang tayang cerpen karya orang lain. Saya kesal. Ujung-ujungnya cuti kuliah.

Belakangan saya menyesal dan malu telah merayu Mas Arief agar memuat karya saya. Apalagi setelah membaca ulang karya yang saya kirim dan memang hanya pantas masuk keranjang sampah itu. Sejak itu saya absen mengirim karya ke Jawa Pos. Saya putus asa campur malu.

Saya takjub Mas Arief dalam memegang teguh profesionalisme sebagai redaktur sastra dan budaya. Dia menggenggam prinsip hanya karya berkualitas yang bisa lolos tayang di Jawa Pos.

Seingat saya, sepanjang usaha merangkak menjadi penulis, dua karya yang dimuat di Jawa Pos: Demokrasi Para Coy di rubrik Prokon Aktivis dan resensi buku yang mengulas tentang tuntunan Imam Al Ghazali kepada para penuntut ilmu. Itu jauh di bawah prestasi teman-teman sesama pemula saat itu, seperti Rijal Mumazziq Zionis, kini Rektor INAIFAS Jember yang masih produktif menulis.

Saya betul-betul berhenti berusaha mengejar sebutan sebagai cerpenis, esais, atau kolomnis, setelah bekerja sebagai jurnalis pada 2010. Setiap hari saya lebih banyak menulis berita berdasarkan 5 W + 1 H dengan teknik piramida terbalik untuk media tempat saya bekerja. Tanpa gaya. Saya gagal di dunia kepenulisan bahkan untuk pemula sekali pun.

Apakah semangat menulis saya mati? Tidak. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa Mas Arief Santosa meninggal dunia beberapa hari lalu. Saya seperti dipecut lagi. Di hari saat kabar duka itu diterima, seorang kawan jurnalis juga menyampaikan kesedihannya. Dia bilang, Mas Arief yang mengajari anak-anak IAIN Surabaya menulis. Kawan saya juga merasakan sentuhan itu.

Arief Santosa meninggal dunia di usia 53 tahun, di RS Graha Amerta Surabaya, Rabu, 13 Nopember 2019, sekitar pukul 12.55 WIB.

Terima kasih, Mas Arief. (*)

Nur Faishal, jurnalis asal Sumenep, Madura.

Terkait

Kolom Lainnya

SantriNews Network