Melihat RUU TPKS dari Perspektif Korban

“Saat seks berbicara, ia mengungkapkan naluri otak reptil yang paling brutal. Begitu seks memanifestasikan dirinya dalam artifisial, ini akan menjadi aspek terbaik dari hasil sebuah peradaban.” – A Hedonist Manifesto (Michel Onfray).

Dalam bukunya, Sebab Semua Gila Seks, Ester Pandiangan menyatakan bahwa seks adalah kebutuhan manusia. Manakala pelampiasan seks justru menuju kebejatan, itulah yang menjadi masalah. Disinilah kemudian ada hukum yang harus diberlakukan untuk memberikan pembelajaran pada orang-orang yang tidak bisa mengontrol naluri seks pada tempatnya.

Bagaimana ketika hubungan seksual dilakukan ketika keduanya sama-sama suka? Berarti hukum tidak berlaku pada orang yang sama-sama memiliki kehendak untuk melakukan hubungan seksual di luar hubungan pernikahan? Perdebatan semacam ini tidak bisa dijadikan acuan untuk mengkritik adanya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.

Tarik Ulur RUU TPKS
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) kembali dibatalkan untuk dibahas oleh DPR RI. Dalam rapat undangan Paripurna yang diterbitkan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, Rabu, 15 Desember 2021, disebutkan bahwa RUU TPKS tidak masuk dalam agenda pembahasan.

Keputusan tersebut membuat banyak pihak kecewa, mengingat kekerasan seksual marak terungkap beberapa waktu belakangan ini dengan data yang semakin meningkat dan fakta yang begitu miris. Padahal, jika dilihat dari banyaknya dukungan, setidaknya ada 7 fraksi yang mendukung RUU TPKS. Akan tetapi, nasib RUU TPKS inisiatif DPR ini tetap ditangguhkan pembahasannya.

Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani berjanji akan mengesahkan RUU TPKS di awal masa sidang 2022 atau pasca reses anggota dewan awal 14 Januari 2022. Janji tersebut tidaklah menjadi faktor angin segar bagi para pejuang keadilan bagi korban kekerasan seksual. Sebab bisa jadi, penegasan di atas bisa dilihat dari pengalaman yang pernah kita temui pada beberapa waktu silam, justru menjadi polemik tarik ulur pengesahan RUU TPKS.

Beban Ganda Korban Kekerasan Seksual
Dilansir dari KOMNAS Perempuan, pelecehan seksual yaitu tindakan seksual lewat tindakan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.

Korban kekerasan seksual adalah kelompok mustadh’afin (lemah dan dilemahkan secara struktural) karena posisi dan relasinya dengan pelaku yang timpang. Dari mulai menghadapi keluarga yang mungkin tidak memberi dukungan, menghadapi lingkungan masyarakat yang seringkali masih menyalahkan korban, sulitnya mendapatkan keadilan, hingga ketidakberanian melapor lantaran proses yang panjang dan pelik hingga menambah luka dan trauma bagi korban.

Seperti itulah ketika Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggambarkan kekerasan seksual melalui siaran pers ketika menggelar Istighosah Kubro & Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa dari Darurat Kekerasan Seksual.

Dalam lingkungan masyarakat, korban kekerasan seksual, seperti pelecehan, pemerkosaan hingga berbagai aksi asusila lainnya mendapatkan beban ganda. Artinya, masih banyak orang yang menganggap bahwa korban kekerasan seksual masih dibebankan dengan stigma negatif yang mengintai. Mulai dari pakaian korban, sikap keseharian yang ditampilkan hingga penampilan dari korban.

Korban kekerasan seksual mengalami trauma yang cukup besar ketika harus menanggung rasa malu yang disematkan oleh masyarakat. Lebih jauh, para pemuka agama juga dengan narasi agama yang disampaikan perihal dosa yang ditanggung. Fenomena demikian, mengakibatkan jalan menikahkan korban dengan pelaku sebagai wujud jalan keluar.

Masyarakat kita masih tabu untuk melihat beban yang diterima oleh korban kekerasan seksual. Stigma negatif yang selalu melekat dan membayang-bayangi sepanjang hidup dan seolah menjadi pendosa ketika menjadi korban seksual. Bukanlah mendapat keadilan justru mendapatkan hukuman yang berlipat ganda. (*)

Muallifah, Aktivis Perempuan Madura, tinggal di Pamekasan.

Terkait

Kolom Lainnya

SantriNews Network