Madura Darurat Radikalisme

Ilustrasi aksi kekerasan

Pasca ditangkapnya terduga teroris di Sumenep, Selasa, 9 Nopember 2021, dengan barang bukti, muncul tanda tanya besar di hati masyarakat Madura. Sebab tidak mungkin aparat menangkap terduga teroris tanpa bukti. Bahkan, penulis yakin sang terduga sudah dipantau, disadap dan diawasi sejak beberapa bulan sebelumnya.

Benar kata seorang tokoh nasional beberapa tahun silam, bahwa: “sudah terbentuk jaringan poros Jakarta-Madura dalam membangun ideologi transnasional dan radikalisme dengan dana besar di Madura.”

“Bahkan beberapa teroris pelaku bom bunuh diri, baik yang sudah ditangkap maupun yang belum ditangkap atau bahkan yang sudah dihukum mati, pernah bolak balik datang ke Sumenep,” katanya dalam sebuah dialog.

Madura yang dikenal dengan sifat adem, ayem, santun dan halus, kini seakan berubah “terlihat” ganas dan seram.

Baca juga: Hawa Politik Kiai Pamekasan Versus Bangkalan

Sebutlah beberapa kejadian sejak 2017 hingga sekarang, mulai dari penghadangan terhadap KH Makruf Amin, pengajian yang isinya ‘Banser’ halal darahnya, caci maki di atas panggung, syi’ar agama yang isinya orasi kebencian, pernyataan NU Mutanajjis, pernyataan KH Said Aqil sesat hingga kasus persekusi yang sedang hangat dibicarakan di Sumenep, juga isu PKI yang muncul tiap akhir September dan beberapa kasus lain. Lantas ada apa dengan Madura?

Benarkah para pelaku beberapa kejadian diatas berbuat atas nama agama dan sudah pasti benar? Dan benarkah pihak yang dianggap sesat, munafik, pro kafir, pro China itu pasti salah? Benarkah NU mutanajjis? Apa yang salah dengan KH Makruf Amin hingga dihadang? Benarkah pemerintah anti Islam? Sederat pertanyaan itu muncul di benak kita bersama.

Bukankah tiap masalah bisa dibicarakan dengan baik, lantas kenapa setiap masalah harus dengan unjuk rasa dan tabligh akbar yang isinya hasutan dan ujaran kebencian?

Kita berharap supaya Indonesia yang belum satu abad merdeka ini tetap aman dan damai. Kita tidak ingin Indonesia seperti Suriah, kita tidak ingin bom terjadi di Madura seperti yang menimpa Syekh Ramadhan al-Buthi yang dibom saat mengisi pengajian di Masjid Syiria hanya karena dianggp kurang islami oleh sesama Muslim, kita tidak ingin ada bom terjadi seperti di Mesir saat shalat Jumat yang membunuh 200 orang dimana pelakunya sesama muslim.

Kita rindu situasi yang damai, sejuk seperti dulu, bukankah kita tidak tahu siapa diantara kita yang paling benar di mata Allah? Bukankah kita sesama hamba yanh derajatnya sama di mata Allah?

Siapakah kita jika dibanding makhluk Allah yang besar seperti planet, bumi, gunung, langit, matahari, bulan, dan bintang.

Kita sebagai manusia adalah makhluk yang kecil dan tak berdaya, lantas apa yang mendasari kita untuk sombong, angkuh dan merasa benar sendiri hingga menganggap kelompok lain sesat, salah, munafik dan pantas dipersekusi?

Tokoh muslim dunia berkata bahwa: “Indonesia adalah sorga dunia.” Adzan berkumandang di seluruh desa tiap waktu shalat, pesantren dan madrasah dimana-mana, pengajian hampir tiap malam di seluruh pelosok desa, syi’ar-syia agama menggema dan dibantu oleh pemerintah (termasuk MTQ). Maulid Nabi sebulan penuh juga tidak dilarang oleh pemerintah.

Bidang kesehatan, sudah berdiri Puskesmas di tiap kecamatan, bahkan di desa-desa sudah ada polindes. Pasokan listrik aman, kebutuh BBM selalu ada, kebutuhan LPG terpenuhi, bahan pokok juga tersedia, lantas kurang apa?

Ingat, bukan berarti kami membela pemerintah. Pemerintah juga ada kekurangannya, tapi dengan segala kekurangannya, mari kita syukuri nikmat bagi bangsa ini.

Baca juga: Madura: Pulau NU Versus Organisasi Radikal

Hampir semua pejabat negara ada yang santri bahkan ada yang kiai: gubenur, menteri, bupati, kepala Kemenag, hingga di birokrasi mulai eselon 1 hingga paling bawah.

Bahkan tiap momen keagamaan, santri dan pesantren selalu terlibat, dan di MTQ Jatim 2021 di Pamekasan saat ini, banyak dari dewan jurinya adalah pengasuh pesantren. Ini adalah bukti bahwa keterlibatan umat Islam dan pesantren betul-betul ada pada kebijakan pemerintah. Lantas kurang Islam bagaimana?

Justru di saat acara syi’ar agama seperti MTQ ini, mereka tidak tampak muncul untuk memberi apresiasi dan dukungan, apakah MTQ dianggap bukan acara agama? Kita tentu bertanya, sebenarnya mereka membela siapa? Apakah membela Islam atau membela siapa?

Kita berharap pada aparat agar lebih tegas dalam bersikap, sebab jika kelompok ini terus dibiarkan tumbuh subur, tentu kita bisa menganalisa apa yang akan terjadi pada Madura dan Indonesia beberapa puluh tahun kedepan. Wallahu A’lam Bishawab. (*)

KH Taufik Hasyim, Ketua PCNU Pamekasan & Pengasuh Pondok Pesantren Sumber Anom, Angsanah, Palengaan, Pamekasan.

Terkait

Kolom Lainnya

SantriNews Network