Madura, Mahfud MD dan Habib Rizieq
Mahfud MD bersama istri dan sang ibunda
Tidak ada yang meragukan integritas Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Prof Moh Mahfud MD. Ia punya rekam jejak yang baik, tanpa noda, bersih, mulus sepanjang karir yang dijalaninya, baik di Legislatif, Yudikatif maupun Eksekutif.
Berkat masa lalu gemilang dan karir akademiknya yang mentereng itu, Jokowi sempat jatuh hati dan hendak menjadikannya sebagai pasangan di pertarungan Presiden 2019 lalu. Namun, nahas, detik-detik menjelang penetapan, ia ditikung oleh elit politik papan atas, dan akhirnya terdepak dari bursa pemilihan.
Rupanya Jokowi tak berhenti di sana, pasca penetapan capres-cawapres dia kembali melirik laki-laki asal Madura itu untuk dijadikan tim pemenangan. Mahfud menolak dan lebih memilh berkeliling ke seluruh Indonesia untuk merekatkan persatuan dengan gerakan suluh kebangsaan yang dibangunnya.
Baca juga: Madura: Pulau NU Versus Organisasi Radikal
Dalam pertarungan Pilpres 2019, Jokowi menang dan ketertarikannya pada Mahfud MD tak hilang. Karuan saja, ia adalah termasuk orang terdepan yang dipanggil ke Istana. Dengan memakai kameja putih, Mahfud MD pergi ke Istana. Fotonya sembari melambaikan tangan tersebar di media massa disambut bahagia netizen.
Belakangan ini di samping banyak dihadapkan dengan banyak problem, negara dihadapkan dengan fenomena Habib Rizieq Shihab. Harus jujur, negara secara umum dan kaum sekuler secara khusus tampak bingung dan kewalahan menghadapi sang Habib.
Maka muncullah Mahfud MD yang semenjak Habib Rizieq masih di Arab Saudi hingga pulang ke tanah air memberi komentar, konperensi pers dan lebih sering muncul di media. Namun sayang, menurut hemat saya Mahfud MD terlalu over lapping, berlebihan dan cenderung ceplas-ceplos mengomentari Habib Rizieq, dan itu buruk secara komunikasi politik.
Sebenarnya wajar, kultur orang Madura sebagaimana hasil penelitian (alm) A. Latif Wiyata dari Universitas Jember bahwa karakter orang Madura itu apa adanya, spontan dan terbuka.
Nah, tiga hal ini masih melekat begitu kuat pada Mahfud MD walau ia sudah malang-melintang di Jogjakarta dan Jakarta. Pak Mahfud secara terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling mengomentari Habib Rizieq.
Pasang mata seluruh pecinta Habib Rizieq kemudian terarah ke satu arah, yaitu Mahfud MD. Sudah tak terhitung beberapa kali dia diledek, dibikinin video dan yang pasti, Mahfud MD sudah punya jejak digital buruk kaitannya dengan Habib Rizieq di memori kolektif para pecinta sang Habib.
Baca juga: Heroisme Demo Para Kiai Jelang Pelengseran Gus Dur
Barusan saya membaca info dan melihat video rumah orang tua Mahfud MD di Pamekasan, Madura digeruduk massa. Walau belum ada kepastian soal motifnya, tapi dilihat dari video tampak tak jauh urusannya dengan soal sikap Mahfud MD dengan Habib Rizieq.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana psikis ibunda Mahfud MD yang sudah hampir berusia 100 tahun itu. Lalu saya teringat dengan ibu saya di kampung.
Catatan lain, bahwa sampai detik ini pesona Habib Rizieq tak pernah pudar. Alih-alih pudar, namanya makin dikenal luas bukan hanya bagi anggota FPI melainkan di gerakan NU kultural. Anda boleh tertawa, mengkritik Habib yang dalam pengajian umum Maulid Nabi melontarkan kata-kata kotor, tetapi habib tetaplah habib.
Habib Rizieq terus mempesona, bahkan banyak tokoh pesantren, kiai, habaib, Gus (dalam foto yang beredar ada seorang Gus kesohor dari dari Jawa Tengah yang banyak diidolakan banyak orang juga ikut menyambut sang Habib) yang ramai-ramai sowan ikut berdesakan, menyambut kedatangan beliau di Petamburan, rumah Habib Rizieq.
Baca juga: Mahfud MD: Kalau Omongannya Penuh Kebencian itu Bukan Habib
Anda boleh juga berasumsi bahwa mereka yang mencintai habib adalah orang-orang yang tak terpelajar, etapi saya menolak asumsi itu. Saya tahu sendiri, ada beberapa orang yang alim, lulusan pesantren, hafal kitab dan lain sebagainya justru berada di garda terdepan membela sang Habib. Kenapa kok bisa demikian?
Yang jelas, Habib Rizieq adalah fenomena yang kharismanya makin mempesona, terutama bagi kultur masyarakat Madura.
Saya terakhir kali bertemu Mahfud MD di ruang dosen Ma’had Aly Situbondo dua tahun silam. Beliau berbicara dalam bahasa Madura sama saya, membahas kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karangan al-Mawardi itu.
Salam Kak Toan Mahfud MD, sehat bhen ngastete selalu. (*)
Ahmad Husain Fahasbu, Alumnus Ma’had Aly Situbondo. Kini jadi dosen muda di Ma’had Aly Paiton, Probolinggo.