Kiai Madura, Poligami dan Orkestra Maskulinitas

Raja Anak Agung Putu Jelantik bersama istri dan anaknya, pada 1920-an.
Kemarin, seorang putra kiai kharismatik di Madura cukup menghebohkan. Ia menikahi dua perempuan cantik dan resepsi sekaligus atas keduanya. Videonya viral dari WA ke WA dan dari sosial media ke sosial media.
Memiliki lebih dari satu istri sebenarnya bukan hal baru. Ia sudah lama ada sejak peradaban manusia mengenal sistem kerajaan.
Dahulu kala, jika seorang raja berhasil menaklukkan sebuah wilayah maka anak perempuan penguasa daerah tersebut akan dinikahi oleh Raja penakluknya. Sehingga saat itu, memiliki banyak istri pertanda semakin banyak daerah taklukannya.
Baca juga: Gender dan Poligami: Dua Arus Utama Pemikiran Santri
Saat sistem semakin berkembang dengan perbudakan yang didapat dari para tawanan perang, daerah taklukan, dan jual beli tawanan, maka para raja juga melengkapi dirinya dengan para budak perempuan yang bisa dia senggamahi secara bebas.
Sehingga menjadi sangat biasa seorang raja memiliki 100 selir atau bahkan ribuan. Raja yang pernah dicatat sejarah punya selir terbanyak adalah dari Tiongkok dengan 100 ribu selir. Entah bagaimana cara menggilirnya.
Saat kebiasaan seperti ini banyak berlaku, Islam datang dengan semangat membatasi, maksimal 4 orang, jangan lebih. Kira-kira begitu. Zaman pun berubah, para raja tersebut banyak bangkrut, kerajaannya runtuh, orang-orang juga pada enggan untuk hidup dalam sistem kerajaan.
Sejak saat itulah, sistem demokrasi mulai banyak diterima. Inginnya, pemimpin adalah yang mereka kehendaki agar bisa mewakili keinginan mereka.
Hanya saja, pertunjukan maskulinitas itu terus berlangsung, baik di kalangan para penguasa, jawara, dan tokoh agama. Penguasa lebih sembunyi-sembunyi karena berkepentingan atas citra mereka sebagai nice guy, sedang jawara lebih terbuka karena sebagai pertunjukan kejawaraannya kepada masyarakat sekitar. Di kalangan kiai, saya tidak terlalu paham motifnya, tapi biasanya dibalut oleh logika agama Islam.
Di kalangan para kiai di Jawa Timur ada anekdot atau meme, “tak sah menjadi kiai jika istrinya masih satu. Kalau masih satu berarti maqomnya masih ustadz.”
Walau begitu, dalam penelitian saya pada 2018 menyatakan bahwa ada kecenderungan bahwa kiai sekarang lebih memilih monogami dibanding poligami. Alasannya sederhana, masyarakat semakin cerdas, semakin terdidik, dan semakin makmur, sehingga rata-rata kaum perempuan muda tak lagi butuh trah kiai yang didamba oleh masyarakat seperti di masa lalu itu.
Kata seorang teman yang juga peneliti, biasanya kalau ada orang yang mempertunjukkan maskulinitasnya biasanya dia ada masalah terkait hal itu. Wallahu a’lam. (*)
Iksan Kamil Sahri, Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-Bata, Pamekasan. Kini dosen di STAI Al-Fithrah Surabaya.