Kembali ke Pesantren di Era Pandemi
Ilustrasi - Santri makan bareng
Seharusnya sehabis lebaran pesantren kembali ramai dengan kedatangan para santri setelah liburan selama bulan Ramadhan.
Akibat pandemi virus Corona atau Covid-19, hampir semua pesantren menunda masa kembali para santri, terutama pesantren-pesantren besar. Sikap kehati-hatian ini wajar mengingat asal santri beragam.
Baca juga: Virus Corona, Ijazah dan Khasiat Ratibul Haddad
Apalagi pesantren besar, para santri berasal dari berbagai daerah di nusantara ini. Pesantren ibarat “Indonesia mini” tempat para santri mengalami keragaman.
Sikap kehatian-hatian sebenarnya juga ditunjukkan pesantren awal-awal pandemi ini mulai. Dengan segera pesantren memulangkan para santri lebih awal. Ini bukan sikap panik.
Sekali lagi, ini sikap kehati-hatian. Bayangkan, jika ada pesantren dengan jumlah santri 15 ribu, berarti kiai bertanggungjawab terhadap 15 ribu nyawa santri. Begitu beratnya tugas kiai.
Saat ini kembali pesantren menunjukkan sikap kehati-hatiannya. Penundaan kedatangan kembali santri paska liburan satu bukti. Tetapi spiritnya, kegiatan pembelajaran di pesantren harus jalan.
Bukan semata karena “the new normal”, tetapi karena besarnya tanggungjawab pesantren untuk segera menyelenggarakan pendidikannya terhadap santrinya.
Baca juga: Pesantren, Sungai, dan Jihad Damai Santri
Sayang pesantren seperti berjuang sendiri, termasuk menyambut kedatangan para santri di pesantren. Negara kurang maksimal memberi layanan yang dibutuhkan pesantren selama pandemi.
Betul, Kemenag mengeluarkan protokol bagi pesantren di era pandemi. Tetapi aturan ini “top-down”, dikeluarkan tanpa sharing dengan pesantren. Protokolnya “gebyah uyah” disamakan dengan protokol untuk perkantoran atau pusat pembelanjaan, misalnya soal jaga jarak, dst. Di pesantren, lucu jaga jarak diberlakukan.
Di poin 7, langkah-langkah menghadapi new normal, upaya Kemenag berbunyi “menyediakan kebutuhan untuk memenuhi protokol kesehatan” (termasuk tentu di pesantren”.
Redaksi “menyediakan kebutuhan” maknanya multi tafsir. Negara mengatur tapi menghindar. Bagi saya mestinya negara membiayai, setidaknya rapid test (apalagi tes swab) bagi santri yang mau kembali ke pondok pesantren.
Atau kalau tidak sepenuhnya, setidaknya sediakan harga rapid test yang harganya kisaran 200 ribu dengan harga murah, misalnya cukup bayar 25/50 ribu bagi santri. Selebihnya disubsidi. Bukankah anggaran APBN/APBD untuk Covid-19 unlimited?
Pemerintah Kabupaten Sumenep juga mengeluarkan surat edaran (SE) menghadapi new normal, termasuk para santri yang mau ke luar/masuk ke Sumenep dimana persyaratannya harus membawa surat keterangan baru hasil Rapid Test atau keterangan uji RT PCR.
Dalam surat edaran tak ada redaksi yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah mengambil sepenuhnya tanggungjawab pembiayaan test kesehatan itu. Padahal, saya dengar anggaran Covid-19 Kabupaten Sumenep kira-kira 90 milyar menyebar di berbagai Satker. Senilai Rp 29 milyar langsung untuk penanganan Covid-19.
Membebankan kepada pesantren atau santri menurut saya kurang adil. Para santri rata-rata anak rakyat dalam pengertian yang sebenarnya. Jika dibebankan kepada pesantren juga berat. Jika santri 5 ribu saja × @ rapid test 200 ribu = 1 M.
Sudah seharusnya negara hadir melayani kebutuhan pesantren, bukan sekedar ramai menghamburkan anggaran untuk hari santri saja. (*)
Kiai A Dardiri Zubairi, Wakil Ketua PCNU Sumenep.