Khazanah Pesantren
Burdah: Vaksin Spiritual Pesantren Menghadapi Wabah Corona
Ilustrasi - Santri putri baca shalawat
Penghujung tahun 2019, dunia tak lagi sama. Manusia dengan segala kesibukan aktivitasnya harus dibatasi. Ini disebabkan oleh sebuah virus yang dikenal dengan Corona Virus Deseases 2019 (Covid-19).
Virus yang awalnya terdeteksi di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Tiongkok begitu cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Di Indonesia, virus ini mulai terdeteksi pada 2 Maret 2020. Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi di Istana Negara bahwa 2 orang Warga Negara Indonesia positif Covid-19. Sejak saat itu, virus ini terus menyebar ke berbagai wilayah, termasuk pulau Madura.
Cepatnya penyebaran dan meninggalnya ribuan orang disebabkan virus Corona, membuat pemerintah berjibaku untuk segera mengatasi masalah ini. Ada banyak kebijakan, mulai pengalihan pos anggaran untuk dialihkan dalam penanganan Covid-19.
Baca juga: Virus Corona, Ijazah dan Khasiat Ratibul Haddad
Tidak hanya negara, masyarakat sipil dari berbagai latar belakang sosial, baik melalui perorangan maupun berkelompok juga bersama-sama menghadapi pandemi ini dengan banyak cara. Misal membagikan sembako untuk masyarakat terdampak, membuat masker dan membuat hand sanitazier untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat.
Lain halnya dengan pesantren. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan kekhasannya memiliki cara unik dalam menghadapi virus ini.
Pesantren-pesantren di Madura berikhtiar menangkal virus ini agar dilenyapkan oleh Allah dengan istighosah dan dzikir Li Khomsatun.
Kegiatan yang dianjurkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asyari ini sudah menjadi semacam tradisi pesantren Madura –juga pesantren di Jawa— ketika menghadapi suatu wabah. Ada pula yang membacakan Burdah.
Mengenal Qasidah Burdah
Qasidah Burdah karya Syaikh Abu Sa’id al-Bushiri atau dikenal dengan sebutan Imam Bushiri ini begitu masyhur di kalangan masyarakat muslim dunia, termasuk muslim Indonesia. Ia dilahirkan di Dallas Maroko dan dibesarkan sebuah desa bernama Buhsir, suatu nama desa di Mesir. Gurunya adalah seorang sufi besar dalam sejarah Islam, Imam Abu Hasan al-Syadzili pengikut tarekat Syadziliah.
Qasidah yang terdiri dari 160 bait ini berisi ungkapan kecintaan, kerinduan, kekaguman terhadap akhlak Nabi, yang kemuliaanya bagaikan purnama. Nama asli kumpulan syair ini adalah al-Kawâkib ad-Durriyyah fî Madh Khair al-Bariyyah, artinya Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap sang Manusia Terbaik. Bahasa yang digunakan sangat menarik, lembut dan elegan.
Baca juga: Tradisi Burdah Keliling di Tengah Corona
Dikisahkan bahwa saat itu Imam Bushiri sakit stroke sampai tidak bisa berdiri. Pada suatu malam, ia mimpi berjumpa Rasulullah. Dalam mimpinya ia berdialog dengan Rasulullah.
“Saya ingin membuat syair untuk memujimu wahai Rasulllah,” kata Imam Bushiri.
“Silakan,” jawab Rasul.
Seminggu kemudian, ketika 154 syair telah dirangkai Imam Bushiri kembali bermimpi Nabi. Imam Bushiri membacakannya kepada Nabi. Mendengar syair gubahan Imam Busyiri, Nabipun terseyum. Dalam mimpi kedua kalinya itu, Nabi mengusap tubuh Imam Bushiri dan keesokan harinya sembuh dari strokenya.
Tak henti-hentinya kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia menjadikan burdah sebagai luapan kerinduan akan perjumpaan kekasih Allah. Hingga kini masih sering dibacakan di sebagian pesantren.
Baca juga: Kiai-Kiai Khos di Belakang Dekrit Presiden Gus Dur
Di pesantren-pesantren, Burdah dibaca secara rutin setiap malam Jumat atau malam Senin. Tidak hanya itu, Burdah sering dibaca dalam hajatan atau saat menghadapi situasi kritis. Harapannya bisa mencegah malapetaka, marabahaya, termasuk menghadapi wabah covid-19 yang terjadi sekarang ini.
Ikhtiar Pesantren dengan Burdah
Kokoh berdirinya pesantren tidak lepas dari peran seorang figur kiai yang karismatik, di mana kiai mempunyai posisi paling dominan. Eksistensi pesantren sudah tidak diragukan lagi sebagai alat pengendalian sosial bagi masayarakat apabila terjadi banyak penyimpanngan-penyimpanagan sosial di dalamnya, khususnya remaja.
Menurut Ki Hajar Dewantara sistem pondok atau asrama itulah sistem nasional. Maka dari itu, pondok pesantren tidak dapat diabaikan dalam memberi corak dan warna sistem pendidikan nasional yang tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salah satu keunggulan pesantren adalah membentuk kepribadian yang baik terutama soal akhlak dan etika ketika santri suatu saat pulang ke masyarakat. Hal ini dibuktikan hingga sekarang belum ditemukan kasus santri tawuran antar santri atau pesantren.
Tidak hanya itu, di pesantren melalui gemblengan ibadah-ibadah dan tirakat-tirakat yang ada di dalamnya, akan menjadikan pribadi santri yang baik dan nantinya akan berdampak pada peradaban bangsa itu sendiri.
Salah satu pesantren di Madura yang istikamah membaca burdah adalah Pondok Pesantren Ziyadataut Taqwa yang didirikan oleh Kiai Afiful Khair dan Nyai Wasilatul Bariroh. Pesantren ini terletak di perkampungan, tepatnya di dusun Asem Manis 1, Tlanakan, Pamekasan, tak jauh dari kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura.
Baca juga: Kitab Kuning Jadi Spirit Santri Melawan Kolonialisme Belanda
Santri yang mukim di pesantren ini rata-rata adalah mahasiswa dari Madura itu sendiri maupun dari luar Madura seperti banyuwangi. Meskipun yang nyantri di pesantren ini rata-rata Mahasiswa, namun sebenarnya pesantren ini terbuka bagi semua kalangan yang ingin belajar agama. Mulai program Tahfidz al-Qur’an yang menjadi program unggulan, termasuk rutinitas membaca burdah sebagai bentuk ciri khas pesantren.
Di Pesantren Ziyadatut Taqwa, burdah dibaca rutin setiap hari Kamis sore setelah shalat Ashar yang dipimpn oleh pengasuh, Nyai Wasilatul Bariroh dengan lagu-lagu yang khas menyentuh kalbu. Burdah yang dibaca ini khusus santri putri, sedangkan santri putra dibaca malam Selasa.
Sebenarnya pembacaan burdah ini dilakukan sebelum corona menjadi pandemi seperti sekarang. Namun karena situasi sekarang burdah dijadikan ikhtiar untuk menangkal virus tersebut.
Selain burdah, shalawat Li Khomsatun juga dibaca setiap malam Jumat dengan harapn Corona segera lenyap dan diangkat oleh Allah. Di pesantren inilah penulis bersama santri lain dengan dipimpin pengasuh melakukan pembacaan burdah, sebagai doa untuk keselamatan bangsa.
Berdasarkan hal tersebut, penulis yakin bahwa pesantren adalah tempat teraman dari virus ini. Selain karena ikhtiar batin melalui pembacaan Burdah yang terus digalakkan, prosdur kesehatan, seperti mencuci tangan yang sering diajurkan para ahli kesehatan, sebenarnya adalah kebiasaan para santri dan umat Islam, yakni ketika berwudhu. Minimal 5 kali sehari.
Akhirnya, segala upaya yang dilakukan negara, masyarakat sipil dan pesantren ini semoga menjadikan kita semua berada dalam lindungan Allah. Amien. Wallahu a’lam. (*)
Nafilah Sulfa, Alumni Pondok Pesantren Al-Mahmudiyah Sampang, kini Ketua pengurus pondok putri Pondok Pesantren Ziyadatut Taqwa, Larangan Tokol, Pamekasan.