Jamaluddin, Sosok Aktivis PMII yang Jualan Kopi Keliling

Pamekasan – Berasal dari keluarga kurang mampu tak menyurutkan Jamaluddin dalam menggapai cita-cita meraih gelar sarjana. Ia kini mahasiswa semester I Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan.

Di sela kuliah, Jamal –sapaan akrabnya, berjualan kopi keliling. Salah satu cara agar ia bisa bertahan hidup di Pamekasan. Syukur, dari hasil jualannya, ia bisa membiayai kuliahnya hingga tuntas.

“Malu minta sama orang tua. Sementara saya hanya berpangku tangan,” kata Jamal memulai cerita, saat ditemui di sela berjualan kopi, Rabu, 16 Desember 2020.

Meski hidup di tengah keterbatasan ekonomi, Jamal tidak pernah minder menyongsong harapan dan menyulam asa masa depannya. Kedua orangtuanya hanya buruh tani.

Sebaliknya, justru dari semangat kedua orangtuanya itu ia mulai paham akan arti kehidupan. Lewat mereka pula, pria asal Desa Lepelle ini bertekad mengukir harapan.

“Meski hanya buruh tani, bapak dan ibu adalah pahlawan saya. Lewat mereka saya paham arti perjuangan,” ujarnya.

Bermodal Uang Pinjaman
Pantang putus asa. Meski hujan diterpa hujan, Jamal tetap berkeliling jualan kopi. Dalam benaknya hanyalah berusaha menjemput asa. “Keliling, dari satu tempat ke tempat lain, ketuk pintu pindah lagi nawarin kopi,” ujarnya.

Bagi Jamal, tak ada keberhasilan tanpa tekad dan usaha yang nyata. Ia berinisiatif jualan kopi dengan uang sebagai modal awal hasil pinjaman dari temannya sebesar 200 ribu. “Karena saat kesini (kuliah,red) saya tidak punya uang sebesar itu,” tegasnya.

Bukan semata soal penghasilan. Kopi bagi dia ternyata memiliki makna mendalam. Ia memahami antara pahitnya hidup dan manisnya perjuangan.
Uang pinjaman itu hingga sekarang ia belum berhasil melunasi. “Penghasilan yang saya dapatkan setiap hari tidak menentu. Jadi omset belum bisa melunasi hutang kepada teman saya,” ujarnya.

Meski demikian, ia selalu menyisihkan hasil jualannya untuk disimpan. Ia berharap hutangnya akan cepat lunas.

Tetap Aktif di PMII
Meski harus berjibaku dengan jualan kopi keliling, ia masih tetap aktif di salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus. “Alhamdulillah saya juga tergabung di PMII,” tegasnya.

Sehabis berjualan kopi keliling di seputaran kota, Jamal kembali menjajakan dagangannya ke beberapa sahabat di kampusnya. Tak ada istilah gengsi dan malu. “Saya juga menawarkan kopi ke teman-teman di PMII dan yang lain,” tandasnya.

Ia berharap mahasiswa agar bisa mandiri dan menghilangkan rasa gengsinya sehingga tidak selalu merepotkan orang tua.

Tekad dan perjuangan Jamal mendapat respon dari Ketua Komisariat PMII UIM Pamekasan, Aliwafa. Ia mengaku malu dan prihatin. Sebab, di tengah hegemoni kapitalisme ternyata masih ada mahasiswa yang tidak gensi berjualan kopi.

“Ketika seharian Jamal berjualan dan manawarkan kepada teman-teman PMII, dia datang dengan kondisi basah kuyup karena kehujanan,” kata Aliwafa.

“Saat saya tanya ke Jamal, apakah punya jas hujan? dia mengaku tidak punya. Sementara dia berpikir kopinya akan laris di saat musim hujan seperti sekarang ini.”

Sebagai rasa syukur, Wafa meminta Jamal datang ke komisariat setiap pagi membawakan tiga gelas kopi. Sebab hanya itulah yang bisa ia bantu.

“Saya pikir, tiga gelas kopi tidak terlalu mahal, karena pergelas harganya cuma Rp 3 ribu,” pungkasnya. (shir/red)

Terkait

Akhbar Lainnya

SantriNews Network