Khazanah Pesantren

Di Utara Pojok Masjid

Ilustrasi – Santri tertidur saat muthalaah kitab kuning (santrinews.com/istimewa)

Sering kali teman kamarnya dibuat bingung dengan kemampuannya. Padahal ia selalu tidur pagi di serambi masjid bagian utara. Bisa dikata ia penggemar tidur pagi. Katanya, saat ia bercerita, banyak cahaya-cahaya yang mendatanginya.

Entah itu cahaya apa, yang jelas tidak ada yang tahu dan temannya yang mendengar ceritanya pun cengar-cengir tak tahu. Tapi tetap saja, kepintarannya membuat teman kamarnya bingung dengan kebiasaannya yang jarang belajar itu.

Bila ingin menemuinya, cukup mudah, teman kamarnya akan mencari ke serambi masjid, bagian utara pojok barat. Di sana akan terlihat seorang anak yang tertidur pulas, bersama rangkaian mimpi yang ia garap dengan liur kebahagiaan. Kurasa bukan hanya teman kamarnya saja yang dibuat bingung dengan keilmuannya, aku—yang bercerita ini—pun begitu.

Baca juga: Rembulan di Atas Kepala

Kiki, begitu teman kamarnya akrab memanggilnya. Tak ada yang istimewa dari perawakannya. Penampilannya biasa-biasa saja, hanya matanya tampak sembab, sebab, ketika begadang kerap di tempat lembab.

Tidak heran bila pagi tiba, Kiki berjemur di teras mesjid untuk menghilangkan mata bengkaknya, meski malu, ia tahan sekuat bisa, tidak mengubris cemooh teman-temannya yang lalu-lalang berangkat sekolah.

Teman kamarnya tahu, Kiki belum lama nyantri di pondok ini, tiga tahun enam bulan sembilan hari. Kiki mondok bersama orang tua dan adik perempuannya, Rani. Kiki bertandang ke pondok ini. Pondok yang masyhur terkenal titisan wali, termasuk pendiri yang tak lepas sebagai tangan kanan Nabi. Kalau tidak keliru, Kiki mondok di pagi hari, ketika menerima formulir Kiki diselimuti bahagia tak henti-henti.

Bapaknya tercatat sebagai alumni, sedang ibunya menetap di penjara suci ini hanya tiga bulan beberapa hari. Ibunya tidak kerasan, kurasa Kiki pernah bercerita pada teman kamarnya di waktu senja setelah pulang Sekolah Diniyah sore hari.

Waktu itu teman kamarnya tertawa, begitupun aku yang bersebelahan kamarnya, saat mendengar cerita tentang ibunya yang berkata, kalau di pondok banyak siksaan. Terdengar sangat suara cekikikan teman kamarnya di depan kamar Lokal B nomer sembilan belas. Itupun satu tahu lalu, cukup lama jika dihitung mulai hari ini.

Namun begitu, kalian tetap dibuat bigung dengan kecerdasan yang Kiki miliki. Padahal Kiki petidur kelas kakap, seperti yang kuceritakan di atas. Seolah ia sangat senang menikmati pagi dengan mata tertutup.

Soal belajar, Kiki tidak terlalu ngotot, karena ketika jam belajar, ia memang mengambil kitab ataupun buku, dan herannya ia hanya membaca cover depan dan belakang, itupun kalau ia baca. Dan teman kamarnya pernah melihatnya, ia hanya membalik seperti membalikkan telapak tangan. Tak lama, ia akan mencium kitab dan buku paketnya, lalu meletakkannya di samping kanan tubuhnya.

“Mengapa Kiki hanya melakukan hal itu? apa ia sudah teramat pintar?” tanya salah satu dari teman kamarny saat jam belajar.

“Aku tidak begitu tahu, tapi bukankah cara belajar memang banyak macamnya?” dengan suara kecilnya, Haikal menyanggah sambil lalu bertanya kembali.

Teman kamarnya diam, bungkam mengikuti alur malam, diam dalam cengkraman penasaran dan heran yang bergentayangan. Sesekali Kiki menatap teman kamarnya dengan senyum ranumnya. Kalian pun membalas dengan senyum dan anggukan kepala.

Di lihat dari watak, kurasa teman kamarnya setuju jika Kiki orangnya pendiam. Ia lebih senang menyendiri dan bertafakur ketika dini hari. Bahkan teman kamarnya pernah bercerita padaku pernah melihatnya sendiri di Asta KH Syarqawi –pendiri Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk— tanpa kitab dan buku apapun. Di sana ia hanya duduk menatap lamat pusara kiai sambil mulut terus merapal, entah doa apa.

Baca juga: Orientasi Perjuangan Santri Ada di Kitab Kuning

“Apa kau tidak mau melihatnya?,” tanya teman kamarnya saat kebetulan melihatnya lagi.

“Tidak usah, aku tidak mau mengganggu ia bermunajat,” jawab Haikal ketus sambil menyeret tanganku.

“Kita tidak akan mengganggu, hanya melihat saja,” teman kamarnya memaksa, Haikal menggeleng cepat-cepat.

Akhirnya teman kamarnya diam dan mengikuti kemauan Haikal.

Setiap kali teman kamarnya melihat hal itu, selalu saja memaksa aku dan Haikal untuk melihat langsung. Bahkan tidak cukup hanya itu, teman kamarnya akan berkoar-koar pada teman kamar lainnya saat matahari menyingsing dan sinarnya menelusup ke sela-sela daun mangga di depan kamar Kiki.

Di teras itu pula, teman kamarnya banyak bercerita tetang kepribadian Kiki, ia yang rajin, tawaduk dan baik kepada temanya meski ia senang menyendiri. Tentang Kiki semua temankamarnya ceritakan. Aku dan Haikal memilih diam, khusuk mendengarkan, meski sesekali kutarik sudut bibir dan mengerutkan keningku.

Di Asta KH Syarqawi, setelah merapal doa —teman kamarnya masih lanjut bercerita— terkadang Kiki membaca Quran, utamanya surat-surat Al-Munjiyat, yang terdiri dari beberapa surat itu. Setelah selesai ia akan kembali duduk termenung sampai azan subuh dikumandangkan. Kiki tidak langsung ke masjid, ia masih diam sejenak, di saat seperti itu ia kedatangan lelaki berbaju serba putih dan bercahaya. Ia tampak berbicara dengan Kiki, bahkan sesekali Kiki tampak tersenyum dan menganggukkan kepala. Teman kamarnya yang melihat heran bukan kepalang.

“Nanti kau harus tidur pagi, ada ulama yang ingin mengajraimu,” ucapnya halus, sehalus cahaya di sekujur tubuhnya.

“Insya Allah, akan aku lakukan,” dengan anggukan yang ritmis Kiki menjawab mantap.

“Posisimu harus tetap di utara masjid pojok barat, karena temapt adalah tempat ia bermujajat semasih hidup,” Kiki kembali menganggukkan kepala bersamaan dengan lantunan dzikir di masjid yang merdu. Hal itu menjadi pemisah pertemuan yang sangat langka itu. Teman kamarnya masih terus bercerita tak mengubris ajakan teman kamar lainya yang mengajak mandi.

Cerita teman kamarnya menggebu-gebu sampai aku dan Haikal percaya tidak percaya dengan apa yang diceritakan. Sebab di samping aku memang tidak melihatnya secara langsung dan aku tidak begitu tertarik dengan hal itu. Yang jelas ketika pelajaran sekolah kalian dibuat penasaran dengan ilmu yang Kiki punya, sangat tidak mungkin jika tanpa belajar langsung pandai seperti Kiki, meski ilmu ladunni ada di sekitarnya.

Ketika jamaah subuh, Kiki langsung salat dua rakaat dan duduk tanpa bergerak sedikitpun, bahkan tak jarang teman kamarnya memergokinya lelap dan mendengkur, ketika iqamat dilantunkan, Kiki tetap dalam duduknya. Bila tidak ada yang iba, ia akan tetap seperti itu. Saat kiai selesai mengimami lalu turun, Kiki masih tetap dalam posisinya, tak ada yang mengubirsnya. Meskipun ada yang sudah kenal. Di samping teman kamarnya dipeluk kantuk, membuat ibanya termakan uap pelan mulut kalian.

Bila gerakan batin selesai Kiki hanya dibangunkan untuk mengikuti kegitan pagi, ajian kitab. Tapi, iya itu, memang Kiki sudah bangun dan melangkah, tapi ia akan menuju utara masjid pojok barat. Ia akan tidur dan sekali lagi, jika tidak ada yang iba, ia kan tetap tidur pulas. Meski dibangunkan, Kiki akan memerbaiki posisinya untuk melanjutkan mimpi yang tertunda dan mungkin Kiki teramat lelah menikmati malam dengan mata terbelalak.

“Kal! Lihat Kiki, kenapa ia tersenyum,” ucap kalian saat hendak kencing di takmir masjid. Sontak Haikal menoleh dan ia pun terkejut bukan main. Tak lama Kiki mengangkat tangannya dan mengigau. “Baik guru,” ucapnya terdengar sumbang dan serak.

“Kiki sedang bermimpi apa?” tanya teman kamarnya pada Haikal yang tidak percaya dengan peristiwa pagi ini.

“Jangan-jangan hal ini yang membuat Kiki pandai?” jawab salah-satu teman kamarnya dengan pertanyaan pula.

“Mungkin?”

Rasa penasaran bergelantungan bak kelelawar siang dalam tempurung kepala teman kamarnya. Bahkan diantara teman kamarnya ingin tidur di dekat Kiki. Salah seorang dari teman kamarnya mendekati Kiki dan tidur di sebelahnya. Lama, setalah terpejam, aku yang sedaritadi duduk bersama Hiakal, masih setia menunggu reaksinya. Malas pun pelan menghantui. Aku mulai kelilipan tidak kuat menahan kantuk. Saat aku dan Haikal hendak melangkah ke teras depan. Suara yang nyaring terdengar.

“Baik guru,”serentak teman kamarnya dan Kiki berucap. Bingung semakin manjadi ombak penasaran dalam batok kepalaku dan Haikal. Haikal tidak tahu harus melakukan apa, yang pasti apa yang menjadi tanya benar terjadi, Kiki dan teman kamarnya berucap dua kata yang sama.

Baca juga: Pembentukan Karakter Berbasis Kitab Kuning

Aku dan Haikal melanjutkan langkah yang tertunda sebentar. Lalu duduk di teras masjid bagian depan, menanti sinar matahari untuk menghangatkan kulit. Sebab kebetulan, hari Senin ajian kitab tidak ada.

“Hey! kau sedang apa?” teman kamarnya mengagetkanku dan Haikal, sontak kami terkejut.

“Kau tahut tidak. Dalam mimpinya, Kiki sedang belajar pada kiai-kiai sepuh pondok ini,” sambungnya.

“Serius, kau tidak bohong,” suara Haikal serak basah berucap. Teman kamarnya menganggukkan kepala, pelan. (*)

Annuqayah, 2020

Muhtadi ZL, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Pengurus Perpustakaan Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Penulis Kreatif (KPK) dan Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lubangsa Selatan.

Terkait

Cerpen Lainnya

SantriNews Network