Mengenang Syaikh Ali Ash Shabuni: Dari Bondowoso, Makkah hingga UIN Malang

Pertama kali saya mengenal dan lalu mengagumi Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni (selanjutnya disebut Syaikh Ali Ash Shabuni) adalah melalui perantara guru saya, Abuya Kiai Abdul Mu’iz Tirmidzi.

Setiap Jumat pagi di Pondok Pesantren Al Maliki Koncer Bondowoso, Kiai mengajar kitab Rowai’ul Bayan karya Syaikh Ali Ash Shabuni yang tiada lain adalah guru Kiai Muiz sewaktu menimba ilmu di Makkah. Kiai menjelaskan kitab tersebut begitu gamblang dan memukau. Sesekali Kiai bercerita tentang profil Syaikh Ali Ash Shabuni, bahwa gurunya itu adalah ulama yang alim ‘allamah. Karyanya melimpah dengan gaya sajian bahasa yang mudah dipahami.

“Ariyah tang guru, kanak…! (Beliau ini guru saya).” Kalimat ini didawuhkan berkali-kali oleh Abuya Kiai Mu’iz disela-sela mengajar kitab Rowa’iul Bayan, menunjukkan kekaguman beliau kepada penulis.

Saat ngaji kitab Rowai’ul Bayan ini, saya sering duduk di samping santri senior yang sudah punya kitab. Pasalnya saya termasuk santri yunior yang belum punya kitab tersebut. Maklum, harga kitab tafsir Ayatul Ahkam itu terlalu mahal bagi saya.

Namun meskipun belum punya kitab, saya sering disuruh oleh Abuya Kiai Mu’iz untuk menerjemahkan teks yang ada dalam kitab. Baik terjemah langsung saat mengaji, atau tidak langsung dalam bentuk tulisan. Saat menjalankan amanah terjemah itu, saya kian mengagumi Syaikh Ali Ash Shobuni. Di samping karena kealimannya, juga karena guru saya mengagumi beliau.

Suatu pagi, ketika saya sedang asyik menyapu teras masjid pondok, tiba-tiba Abuya Kiai Mu’iz memanggil saya. Kemudian saya disuruh membuka beberapa kitab yang berjejer di rak ruang tamu. Tiba-tiba saya menemukan beberapa lembar uang di dalam sebuah kitab. Seketika Abuya memanggil saya, dan menyuruh agar saya mengambil uang tersebut.

“Gibeh pesse jeriyeh, pas kabellih ketab…! (Bawa uang itu, belikan kitab).” Abuya memerintah agar uang itu saya ambil untuk dibelikan kitab.

Saya hitung jumlahnya lumayan, cukup untuk membeli kitab Rowai’ul Bayan yang memang saya impikan selama ini. Setelah itu saya sangat antusias sekali mengaji tafsir Ayatul Ahkam itu. Walau sudah tertinggal satu jilid, tidak menyurutkan saya untuk terus mengkaji kitab ini. Setiap ngaji saya mulai pede duduk di barisan depan. Kitab baru dengan aroma kertas yang khas. Yang membuat saya lebih bangga lagi, karena kitab ini dibelikan oleh Sang Murobbi, Abuya Kiai Mu’iz.

Kekaguman saya kepada Syaikh Ali Ash Shabuni kian bertambah di saat kuliah. Ternyata karya-karya beliau juga jadi bahan kajian di dunia akademik. Saya pun kian kagum dan ingin sekali bertemu Syaikh Ali Ash Shabuni. Walau hanya sekedar bermushafahah, atau memandang wajah Sang Mufassir itu dari kejauhan, akan menjadi penawar kerinduan saya pada Ulama yang saya kagumi ini.

Tahun 2011, kerinduan kepada Syaikh Ali Ash Shabuni terobati. Saat itu saya sedang menunaikan ibadah Haji. Hampir tiap malam saya datang ke Majelisnya Abuya Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Harapan saya di sana bisa bersua dan ngalap berkah dengan para Ulama dunia. Dan ternyata, Syaikh Ali Ash Shabuni hampir tiap malam juga hadir di majelis itu. Saya pun bisa menatap wajah teduh Sang Mufassir itu dengan leluasa. Bahkan berkesempatan pula bisa bermushafahah dengan penulis kitab Shofwatut Tafasir ini. Sungguh pucuk dicinta ulam pun tiba.

Akhir tahun 2012, saya dengar bahwa Syaikh Ali Ash Shabuni akan melakukan lawatan Muhibbah ke Indonesia. Termasuk agendanya adalah peresmian Masjid Kampus Pascasarjana UIN Maliki Malang, yang menisbatkan nama kepada Sang Mufassir ini. Masjid Ali Ash Shabuni. Mendengar kabar itu, saya pun mengkondisikan diri untuk bisa turut ngalap berkah secara maksimal.

Saat hari H kedatangan Syaikh Ali Ash Shabuni, saya standby sejak pagi di kampus pascasarjana. Jelang siang, rombongan Syaikh Ali Ash Shabuni tiba di halaman kampus. Tahu-tahu Prof Imam Suprayogo, rektor saat itu memanggil saya.

“Pokoknya saya pasrah pada kamu untuk mengawal Syaikh Ali Ash Shabuni. Jangan sampai ada yang salaman. Kasihan beliau capek. Kalau nanti beliau tidak kuat naik tangga, kamu harus siap menggendong beliau..!” dawuh Prof Imam Suprayogo pada saya. Bahkan di di hadapan Syaikh Ali Ash Shobuni, Prof Imam juga mengulangi kalimatnya dengan bahasa Arab sembari mengenalkan saya kepada Syaikh Ali Ash Shabuni.

Amanah untuk mengawal Syaikh Ali Ash Shabuni selama di kampus Pascasarjana UIN Maliki ini saya jalankan dengan maksimal. Saya pun merasa leluasa ngalap berkah dari Ulama Mufassir ini. Impian saya sejak mondok (sekitar tahun 2000) dulu, untuk bisa bertemu dan ngalap berkah pada penulis kitab Rowai’ul Bayan ini kini benar-benar terkabul.

Dan kemarin, ketika saya mendapat kabar kewafatan Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni benar-benar membuat saya terkejut. Karena kewafatan beliau bukan hanya duka bagi keluarga dan kerabatnya saja, tetapi duka bagi seluruh umat Islam. Syaikh Ali Ash Shabuni adalah pewaris Nabi. Kewafatan beliau pertanda kian berkurangnya pewaris Nabi di permukaan bumi.

Kendati demikian, walau Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni telah meninggalkan kita, hakikatnya beliau terus hidup seiring keabadian karya-karyanya. Umat Islam masih bisa berinteraksi dengan Syaikh Ali Ash Shabuni melalui karya-karya beliau.

Selamat jalan, Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni, Mufassir Qur’an dan Sunnah.

اللهم اغفرله وارحمه وعافه وعف عنه، الفاتحة

Malang, 20 Maret 2021

Umar Faruq, Dosen UIN Maliki Malang.

Terkait

Halaqah Lainnya

SantriNews Network