Khazanah Pesantren
Mengenang Keikhlasan Kiai Abdul Aziz dari Pakondang

Pada 2001, selepas Madrasah Aliyah (MA) Mambaul Ulum, di Pondok Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, penulis ditugaskan untuk berkhidmat selama setahun —sebagai “ustaz tugasan”— di Pondok Pesantren Al-Islamiyah, sebuah pesantren kecil di Pakondang, Rubaru, Sumenep.
Pesantren tersebut saat itu diasuh oleh KH Abdul Aziz dan putranya alm. KH M Hasyim Asyari. Kiai Abdul Aziz ini adalah santri KHR As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, Situbondo.
Tapi konon selama nyantri di Kiai As’ad, Kiai Aziz tidak pernah mengaji. Beliau lebih memilih menjadi kawula atau abdi ndalem Kiai As’ad. Tugasnya adalah mengasuh Lora Fawaid dan Lora Kholil, dua putra Kiai As’ad.
Baca juga: Gus Dur, Kiai As‘ad, dan Nabi Khidir
Lora Fawaid atau KHR Fawaid As’ad di kemudian hari menjadi pengasuh menggantikan Kiai As’ad, sedangkan Lora Kholil atau KHR Kholil As’ad di kemudian mendirikan Pesantren Walisongo, di Mimbaan, Situbondo.
Menurut hikayat, suatu ketika istri Kiai As’ad kehilangan cincin di jamban. Dengan cekatan kemudian Aziz muda mengambil cincin tersebut. Setelah peristiwa itu Aziz akhirnya disuruh pulang dan setelah pulang, ia mendirikan sebuah pesantren bernama al-Islamiyah. Kini, Pesantren Al-Islamiyah diasuh cucunya, Kiai Ahmad Jufri.
Kiai Aziz menurut penulis bukan orang yang alim. Penulis yang saat itu sangat kritis dan selalu mengandalkan pengetahuan kitab sentris melihat beliau ini —menurut penulis—tidak jelas. Karena beberapa kali penulis ikut beliau acara Slametan atau tahlilan doa yang beliau baca itu sama. Dan doa itu dibaca di selembar buku yang sudah lusuh. Atas hal tersebut penulis kemudian pernah menyepelekan Kiai Aziz.
Tapi lambat laun, banyak hal yang mengherankan penulis. Para pencari kerja ilegal di Negeri Jiran Malaysia biasanya datang ke Kiai Aziz untuk minta doa agar tidak ditangkap Polis Diraja Malaysia. Mulailah cerita-cerita tak masuk akal penulis dengarkan.
Baca juga: In Memoriam Kiai Mawi, Guru Alif yang Mendidik dengan Hati
Hingga suatu ketika, keluarga penulis datang bertandang ke ndalem beliau untuk menitipkan penulis kepada beliau. Pada saat akan pulang, tiba-tiba hujan deras, keluarga saya terpaksa tidak bisa pulang. Saat itu penulis lihat Kiai Aziz mengambil keris mengacungkan ke langit dan membaca doa yang biasanya beliau baca.
Saat itu dalam hati penulis berkata, “doa itu lagi…” Eh ternyata hanya dalam hitungan menit hujan langsung reda dan keluarga penulis bisa pulang ke Surabaya.
Ikhlas Berkhidmat
Penasaran, penulis menyelidiki apa faktor X yang membuat Kiai Aziz menjadi linuwih dan doanya makbul. Akhirnya penulis mengadakan misi penyelidikan. Di saat para santri tidur, penulis sengaja mendekat ke ndalem beliau.
Saat itu penulis lihat lampu masih menyala di kamarnya. Terlihat Kiai Aziz shalat malam. Penulis pun balik ke bilik penulis. Tak bisa tidur, penulis balik lagi menengok ke ndalem Kiai, ternyata shalat beliau belum juga selesai.
Malam berikutnya, penulis mendekat lagi ke kamar beliau dan beliau memang tak beranjak dari sajadahnya. Ternyata saat yang lain tidur, Kiai Aziz terjaga dan bercengkrama dengan Tuhannya.
Sehingga saat itu penulis merasa wajar jika doa beliau dikabulkan Tuhan karena beliau adalah orang yang mukhlis atau ikhlas. Ikhlas dalam beribadah dan ikhlas dalam berkhidmah.
Baca juga: KH Hasyim Muzadi: Ikhlas itu Ruh Perjuangan NU
Banyak hal-hal lucu saat bersama beliau. Beliau suka melatih keikhlasan dan penulis suka melatih keilmuan. Pernah suatu ketika saat musim tembakau, para santri diminta menyiram tembakau Kiai dan penulis ingin para santri mengaji.
Para santri bingung, akhirnya berkata kepada penulis, “Ustad, Kiai menyuruh kami menyiram tembakau”. Saat itu penulis bilang, “Maturkan ke Kiai, para santri diminta mengaji oleh ustad Ihsan”.
Akhirnya Kiai Aziz bilang, “Oh ya sudah. Silakan ngaji”. Terlihat para santri senang, tapi segera Kiai menimpali, “Habis ngaji nyiram tembakau ya…!” Dan para santri terlihat langsung lemas.
Pada saat wafatnya Kiai Aziz, terjadi keajaiban. Sawah ladang yang terinjak kaki ratusan atau ribuan peziarah tersebut malah tumbuh sangat subur melebihi sawah ladang yang tak terinjak.
Kiai Aziz meninggal dalam usia 80-an, pada 25 Ramadhan 2003. Setahun setelah saya selesai menjalankan tugas berkhidmat dan sudah kuliah di Surabaya. Tepat malam ini, haul-17 KH Abdul Aziz. Sayang penulis tak bisa hadir. Lahul fatihah. (*)
Iksan Kamil Sahri, Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-Bata, Pamekasan. Kini dosen di STAI Al-Fithrah Surabaya.