Gus Yaqut, Gus Dur, dan Diamnya Megawati
Sebagai orang yang selalu gelisah dengan pola keberagamaan masyarakat yang terjebak pada rutinitas formal simbolik, tentu kita sangat senang dan berharap Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas (Gus Menag) bisa sedikit memberi harapan akan hadirnya keberagamaan yang substantif.
Artikel diambil dari: Menteri Agama Gus Yaqut & Hikmah Peristiwa Gus Dur
Namun di sisi lain ada tembok sangat tebal dan tinggi di depan Gus Menag yang harus ditembus dan jika mungkin dirobohkan. Tembok yang bahkan ketika Gus Dur memimpin negeri ini belum sempat dibongkar karena beliau sibuk menghadapi kekuatan oligarkhi politik yang bangkit setelah porak-poranda dikerjai Gus Dur.
Maka ketika Gus Dur berhasil diturunkan dari kursi presiden kekuatan inilah yang kembali membangun tembok “kebebalan” politik dan berselingkuh dengan agama, demi menyaingi NU yang ada di belakang Gus Dur.
Tentu kita masih ingat bagaimana Gus Dur saat itu difitnah secara keji dengan tuduhan telah melakukan korupsi dan melakukan perzinahan. Meskipun kita tahu pihak mana yang melakukan, tetapi kita seolah tak mampu melawan mereka.
Sejak era rezim Orde Baru, Gus Dur telah difitnah sebagai agen Yahudi, dan juga dibenturkan dengan banyak sekali kiai NU. Semua itu dilakukan karena kekuatan oligarki dan rezim Orba sadar betul dengan kekuatan Gus Dur dan NU yang sangat berbahaya bagi pertahanan oligarki mereka jika keduanya bersatu.
Gus Dur adalah petarung tunggal dengan tingkat kepercayaan diri yang hampir sempurna. Dalam tradisi spiritual pesantren Gus Dur adalah wali “nyeleneh” yang hanya takut sama Allah dan ibunya.
NU yang saat reformasi diharapkan bisa membackup Gus Dur ternyata tidak punya cukup kekuatan politik dan bahkan justru terpecah belah karena banyaknya kepentingan pribadi yang memang menjadi “tradisi politik” para “oknum” elit politisi NU yang ingin cari aman dan selamat sendiri, sambil mengais kekayaan untuk diri sendiri.
Maka tidak butuh waktu lama, Gus Dur yang sangat produktif melahirkan wacana kontroversial segera dihabisi dari berbagai sisi oleh hampir semua kelompok di negeri ini. Termasuk oleh para oknum dari dalam tubuh PKB dan NU sendiri.
Kekuatan oligarki yang sebenarnya mulai terpecah kembali melakukan konsolidasi dengan diamnya Megawati Soekarno Putri —-sang wakil presiden saat itu. Rasa kesal dan malu karena kalah bersaing dengan Gus Dur dan peluang untuk jadi presiden tanpa bertarung adalah satu-satunya jalan yang nggak bakal datang dua kali. Maka selesailah masa kepemimpinan singkat Gus Dur, dengan segudang prestasi “kultural” yang bahkan tidak pernah tertandingi oleh presiden siapapun yang pernah memimpin negeri ini.
Gus Menag dengan segala kontroversinya yang dia wacanakan sesaat setelah ditunjuk dan dilantik sebagai Menag tentu bukan (seperti) Gus Dur. Gus Menag juga bukan presiden, tapi seorang menteri yang memimpin departemen besar yang penuh dengan “mata-mata” dan “jebakan” dalam selimut.
Meski bukan presiden, Gus Menag punya peluang besar melanjutkan visi universal Gus Dur soal bagaimana membangun kultur keberagamaan bangsa Indonesia yang lebih sehat, cerdas dan bermartabat. Gus Menag harus lebih hati-hati dalam menata birokrasi dan lebih baik memberikan tugas krusial itu pada sang wakil menteri untuk lebih mengurusi reformasi birokrasi Kemenag.
Sedangkan Gus Menag sendiri secara tegas dan persuasif harus mulai membersihkan pengaruh-pengaruh ideologi dan praktik-praktik diskriminasi yang terjadi dalam relasi kehidupan keberagamaan anak bangsa. Menyatukan kekuatan tokoh-tokoh agama yang progresif dari semua ormas keagamaan untuk duduk bersama dan merumuskan suatu kebijakan yang mengarah pada usulan pencabutan SKB tiga menteri yang selalu jadi referensi kekerasan atas nama agama dan jadi benteng kekuatan kaum “fundamentalis dan radikalis” yang disokong kekuatan oligarki untuk merusak hadirnya kesadaran masyarakat bangsa yang mandiri dan berdaya solidaritas tinggi sebagai sesama anak bangsa.
Gus Menag mungkin juga dipilih oleh presiden karena pertimbangan karena ingin menyeimbangkan kembali kultur politik identitas yang memang sudah mengarah pada situasi tak terkendali. Meskipun saya juga tidak terlalu yakin dengan hal ini.
Saya cuma menduga Gus Yaqut dipilih karena potensi membesarkan marwah politik populisnya lebih mudah “dikendalikan” dari pada figur lainnya yang lebih “Jawa”. Watak politisi muda yang gampang “gegabah” dan terpukau dengan “janji” masa depan politik sudah terbukti menjadi penyebab jatuhnya sang calon pemimpin masa depan. Belum lagi saingan politisi internal yang kadang saling menjegal dan menjatuhkan demi ambisi.
Sekali lagi Gus Menag harus sangat hati-hati memanfaatkan dan mengembangkan modal politiknya. Jangan sampai ada yang merasa tersinggung dan tersaingi karena popularitasnya yang bisa saja melambung tinggi.
Tapi jika tidak hati-hati bisa juga berujung di balik jeruji tanpa harus tahu kesalahan apa yang telah dia lalui. Karena kekuatan oligarki tidak akan tinggal diam, jika kenyamanan dan kemapanan mereka dalam menggarong kekayaan negeri diusik oleh siapapun, tak peduli itu Gus Menteri. Sebab sudah terbukti presiden Gus Dur saja dikerjai sampai lengser dengan celana pendeknya yang ia sandang, sambil melambai pada para pengkhianat negeri dan para pendukungnya yang ia larang untuk bersedih hati.
Gus Dur yakin pada saatnya generasi muda akan tampil kembali untuk mencoba meneruskan perjuangannya demi kepentingan kemakmuran Negeri. Semoga Gus Menteri Agama bisa mengambil hikmah dari peristiwa Gus Dur ini. (*)
Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.