Generasi Milenial dan Tantangan Santri Zaman Now
Dekade terakhir, generasi milenial atau juga disebut generasi Z terus diteliti, mulai dari politik, ekonomi, hingga gaya hidupnya. Generasi milenial merupakan kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut sebagai generasi milenial karena satu-satunya generasi yan pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923.
Perbedan lain yang mengatakan bahwa generasi milenium memiliki rentang umur yang digunakan masih belum jelas. Namum istilah tersebut sering dipakai, rentang waktu yang dipakai mendeskripsikan Generasi Z atau Generasi Milenium adalah anak-anak yang lahir 1995 hingga 2014.
Internet hadir di Indonesia pada 1990. Baru pada 1994, Indonet hadir sebagai Penyelenggara Jasa Internet komersial perdana di negeri ini. Jadi, mari kita anggap Generasi Z Indonesia adalah mereka yang lahir pada pertengahan 1990-an sampai 2000-an.
Terlepas dari perbedaan tersebut, semua sepakat bahwa Generasi Z adalah orang-orang yang lahir di generasi internet—generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet. Yang hingga sekarang perkembangan teknologi telah mencapai masa keemasan.
Baca juga: Livi Zheng, Santri dan The Santri
Kita yang terlahir di tahun tersebut akan menyepakati bahwa keberadaan internet memang masih belum berkembang secara baik seperti sekarang ini. Pasalnya jika dianalogikan dengan kelahiran seorang anak yang perlu perhatian dari kedua orang tuanya. Maka kelahiran internet masa itu juga membutuhkan sebuah perhatian dan pemikiran yang baik demi perkembangannya yang diharapkan.
Generasi Milenial yang ditandai dengan berkembangnya teknologi ini menjadikan para generasinya menomersatukan teknologi. Contoh kecil dalam hal ini adalah transaksi jual beli yang dulu hanya dapat dilakukan dengan bertatap muka. Namun sekarang hal tersebut tidak perlu. Pasalnya keberadaan teknologi yang semakin berkembang melahirkan sebuah aplikasi daring (jual beli online) yang tidak mengharuskan pembeli mengunjungai toko tempat barang yang akan dibelinya.
Pada gilirannya, sistem jual beli yang super canggih ini berimplikasi jauh pada pola pandang dan tatanan kehidupan masyarakat. Dengan pasar bebas, perusahaan-perusahaan transnasional “memaksakan” produk mereka kepada masyarakat dengan menjadikan keinginan sebagai kebutuhan, dan yang tidak diinginkan sebagai keinginan.
Mereka juga mengampanyekan (implisit dan eksplisit) bahwa ukuran modern-tidaknya seseorang diukur dari sejauh mana mereka menggunakan produk-produk tersebut. Dampak dari semua itu –sebagaimana kita melihatnya sendiri- adalah terseretnya masyarakat dalam pola hidup konsumerisme yang sampai derajat tertentu dapat dikatakan demikian akut. (Abd A’la, Ijtihad Islam Nusantara, 2018, hal.84).
Keadaan ini bukan hanya dihadapi oleh masyarakat luar pesantren saja. Faktanya di lapangan, kehidupan pesantren pun ikut terjangkit kedalam pola hidup konsumerisme. Hal ini ditandai dengan lahirnya sebuah kecendrungan santri yang telah kehilangan eksistensi kesederhanaan. Dimana kesederhanaan tersebut merupakan ciri khas dari kehidupan pesantren.
Hal ini sesuai pendapat Mahmud Yunus yang mendefinisikan pondok pesantren sebagai tempat santri belajar agama Islam. Sedangkan Abdurrahman Ma’sud mendefinisikan pondok pesantren sebagai: Refers to place where the santri devotes most of this arrange her time, to live in and acquire knowledge. Definisi ini menunjukkan betapa pentingnya lembaga pendok pesantren sebagai sebuah totalitas lingkungan subkultural pendidikan yang memiliki makna dan nuansa menyeluruh. (Aguk Irawan, Akar Sejrah Etika Pesantren di Nusantara, 2018, hal.197). Sehingga dalam hal ini pondok pesantren akan mencetak manusia-manusia yang ikhlas, jujur berakhlak mulia, mandiri, berjuang dan bertanggung jawab.
Dua Potensi
Dalam konteks Generasi Milenial ini, santri —yang dikenal dengan keilmuan tentang agamanya— harus mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman, sehingga tidak lagi dikotomi antara keilmuan dunia dan keilmuan akhirat. Santri diharapkan menguasahi keilmuan yang mampu mengantarkan kemenangan di dunia dan akhirat.
Setidaknya ada dua hal yang harus santri lakukan dalam mempersiapkan dirinya agar bisa menjadi pelaku sejarah serta pelopor kemajuan peradaban di Indonesia berdasarkan realitas yang ada. Pertama, santri harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan daya nalar kritis dalam menyikapi setiap persoalan yang ada.
Baca juga: Cetak Wirausaha Muda, Kementerian Perindustrian Bekali Santri Ilmu Mengolah Roti
Kedua, hal positif yang harus dipersiapkan dan perlu dilakukan oleh santri di zaman milenial ini yaitu memiliki skill entrepreneur yang mumpuni dan terampil dalam melihat peluang bisnis. Sehingga dengan adanya kecendrungan pola hidup konsumerisme seorang santri dapat menjadi peluang bagi insan pondok pesantren untuk konsisten menjalankan program pemberdayaan ekonomi umat.
Potensi pasar Indonesia yang sangat besar diiringi laju pertumbuhan ekonomi yang pesat serta menjamurnya start-up bisnis dari kalangan pemuda, harusnya direspon juga dengan sigap oleh kalangan santri. Santri zaman now tidak cukup hanya berbekal ilmu pengetahuan, akan tetapi harus sukses juga dalam entrepreneur.
Rasulullah SAW telah memberikan contoh langsung untuk kita teladani di mana beliau merupakan sosok pembisnis yang sukses. Kesungguhannya dalam berdagang mengantarkan Rasulullah mencapai kondisi yang mandiri secara finansial di usia muda. Contoh keteladanan inilah yang harus dicontoh oleh santri hari ini, bahwa mandiri secara finansial harus dirintis dan diperjuangkan dari sejak muda.
Sehingga dengan adanya keahlian yang dilakukan oleh santri dalam wirausahawan menjadikan perekonomian umat dapat berkembang. Namun bukan hanya itu saja, eksistensi dari adanya keahlian santri dalam hal ini juga membantu dan menjadi nilai lebih bagi santri yang ahli dalam hal tersebut. Sehingga mereka bukan hanya memiliki bekal ilmu agama saja. Namun juga dapat meringankan beban orang tua dalam membiayai keperluan kita.
Dan praktek ini menjadi sebuah inovasi yang selalu eksis. Pasalnya seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa kecendrungan pola hidup konsumerisme telah menjalar di berbagai kalangan, baik kalangan santri maupun non santri. Sehingga praktek tersebut dapat berlanjut ketika kita telah menjadi alumni. (*)
Nur Hayati, Mahasiswi INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep Madura. Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Latee 2.