Puasa dan Resonansi Spiritualitas Menuju Fitrah Hakiki

Ilustrasi ibadah tengah malam.

Dalam banyak referensi, terminologi puasa identik dengan menahan diri dari rasa lapar dan dahaga. Pemahaman ini umum berlaku bagi semua umat muslim yang tingkat pengetahuannya sangat sederhana.

Setidaknya dalam pandangan “Imam Al-Ghazali” disebut sebagai puasanya orang awam. Berpuasa sebenarnya juga merupakan bagian dari tradisi masyarakat jahiliyah, namun pelaksanannya sedikit berbeda dimana setiap masuk pada bulan Ramadhan mereka berpuasa dengan cara berjemur ditengah terik matahari dan tujuannya dapat membakar kesalahan dan dosa yang telah diperbuat sebagai wujud pengabdiannya dalam melaksanakan ritual keagamaan yang ia yakini. (Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuhu ). Tradisi semacam ini secara turun temurun dilakukan dan orientasinya hampir sama yaitu penyucian jiwa dari kotoran yang selama hidupnya ia perbuat.

Bagi umat Islam, ketulusan melaksanakan perintah agama berupa puasa di bulan Ramadlan adalah hal yang niscaya dan tak bisa ditawar. Selain didalamnya penuh dengan nilai spiritualitas, ini juga merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana termaktub dalam QS. surah Al-Maidah ayat 183. Artinya; Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelum kamu agar kamu bertakwa

Jika dibidik dari esensi dan nilai-nilai spiritualitasnya, pelaksanan ibadah puasa mengerucut pada aspek yang sangat privat yaitu Taqwa. Yaitu relasi manusia dengan sang khaliq yang sangat diterminatif dengan dilandasi spirit dan kejujuran. Bagaimana tidak, kegiatan makan dan tidak makan akan sangat mudah dikaburkan dan mudah untuk dimanipulasi. Bahkan tak seorang pun bisa mengetahuinya kecuali dirinya sendiri dan Dzat Yang Maha Tahu.

Karenanya, untuk mengukur integritas manusia sejatinya dapat dibidik dalam dua dimensi yang sangat fundamental yaitu: Pertama, dimensi etis. Dimensi ini tentu menjadi kodrat bagi diri manusia dan menjadi unsur yang melekat tak terpisahkan. Dalam istilah yang sangat sederhana dimensi etik itu bermetamorfosis menjadi sebuah keyakinan dan penghambaan dirinya kepada sang khaliq (pencipta). Puasa adalah bagian dari implementasi nilai-nilai etik yang secara verbal ditujukan bagi umat beriman, dan ini secara tegas terejawantah dalam tuntunan agama.

Berpuasa berarti menenggelamkan sifat dan kodrat kemanusiannya dalam takaran yang sempurna sebagai wujud penghambaan itu. Pada dimensi inilah manusia dengan puasa secara eksplisit melucuti sifat-sifat dan watak kebinatangan seperti sifat rakus, tamak, serakah serta prilaku hidup hedonis lainnya.

Puasa ramadlan sejatinya menjadi media untuk melatih jiwa (Riyadhatun Nufuus) sebagai bentuk ketundukan universal yang pelaksanaannya meniscayakan sikap penuh ketulusan dan kejujuran. Pada konteks ini spritualitas puasa tak sekedar menahan lapar dan dahaga tetapi yang sangat prinsip adalah mengasah rasa dan naluri kepekaan sosial sebagai feedback dalam menyahuti dinamika kehidupan dengan tetap tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah dan tuntunan puasa yang benar.

Kedua, adalah dimensi sosiologis. Dimensi ini menjadi penting karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial untuk kemudian berhimpun dalam entitas yang lebih luas yaitu golongan, ras dan selanjutnya disebut masyarakat sosial dengan tujuan yang mulya yaitu untuk saling berinteraksi satu sama lain. (QS. Al-Hujurat ayat 13).

Pada waktu yang bersamaan (Ramadlan) ini pula taklif dan resonansi spiritualitas akan dipertautkan dengan relasi kemanusian humanntelationship yaitu kewajiban menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial, dalam terminologi agama biasa disebut Zakat Fitrah. Peruntukannya pun secara rinci disebutkan dalam Al-Quran.

bila naluri kemanusian ini terasah maka transformasi rasa untuk berbagi pada sesama maka akan melahirkan spirit baru yaitu pemerataan ekonomi dan semangat berkeadilan akan terwujud. Bila dua paket ini (dimensi etik dan sosiologis) terkoneksi secara hirarkis maka puncak pelaksanaan ibadah puasa diatas yaitu lahirnya jiwa yg muttaqien akan terwujud karena penyucian jiwa dengan kemilau yang terpancar dalam semangat solidaritas bagi sesama menjadi keniscayaan.

Karena itu, pelaksanaan ibadah puasa harus terintegrasi secara utuh sehingga naluri untuk selalu berbagi dapat termanivestasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada posisi yang demikian harapan baru akan terus terbarukan dan akan menjadi tradisi kemanusiaan yang tulus menuju kebangkitan sosial berkeadaban. Semoga.!!!

Wallahul Musta’an ilaa Sabilil Ghufran (*)

Baihaqi Ady, aktifis kajian sosial di Institute For Strategic Studies, HIMAPELA Sumenep.

Terkait

Kolom Lainnya

SantriNews Network