Ketua MK: Konstitusi Indonesia Sangat Islami

Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva (tempo/santrinews.com)

Jakarta – Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, sejarah konstitusi Indonesia tak pernah lepas dari nilai-nilai Islam. Dari lima konstitusi yang pernah digunakan bangsa ini, semuanya mengakomodir dan terbuka untuk implementasi Islam secara luas.

Nilai-nilai Islam menempati posisi sendiri dalam konstitusi Indonesia. Sehingga dalam kehidupan berbangsa moderen di masa kini, Islam dan negara menjadi dua hal yang berhimpitan.

‘‘Jadi bukan lagi saatnya untuk menghadapkan Islam dan negara. Sebab Undang-Undang Dasar 1945 sangatlah Islami,’‘ kata Hamdan Zoelva, dalam seminar internasional hukum di UIN Jakarta, Rabu, 11 Desember 2013.

Ia memaparkan, seperti dilansir Republika, konstitusi merupakan kesepakatan bersama warga negara yang paling tinggi dan menjadi pedoman penyelenggaraan kekuasaan negara. Konstitusi juga menjadi rujukan dan sumber hukum negara.

Memahami konstitusi, kata Hamdan, lebih luas dari sekadar membaca teks. Penjelasan dan risalah serta sejarah lahirnya sebuah pasal harus juga dimengerti agar tak ada kesalahan dalam memahami suatu pasal.

Indonesia pernah menggunakan lima konstitusi dalam perjalanannya. Yang pernah dan masih berlaku hingga saat ini adalah UUD 1945. Pasca kemerdekaan pada 1949-1950 Indonesia pernah menggunakan konstitusi RIS dan UUDS pada 1950-1959.

Walau hilang poin federasi dari dalamnya, tapi jaminan kebebasan beragama tetap termaktub. Hingga akhirnya dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan falsafah bangsa ini kepada UUD 1945.

Nilai syariat Islam sangat terasa dalam sejarah awal pembentukan dasar negara ini. Intisari pidato para tokoh bangsa dalam pertemuan BPUPK 29 Mei hingga 1 Juni 1945 akhinya melahirkan Piagam Jakarta.

Piagam tersebut, ujarnya, pernah menjadi kesepakatan bersama pemimpin serta tokoh nasional dan dibela betul oleh Sukarno. Perbedaan pendapat yang alot akhirnya membuat Piagam Jakarta direvisi pada rapat PPKI 18 Agustus 1945 demi menjaga keutuhan pasca kemerdekaan.

Sebagai konsekuensi, sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dapat berbeda sesuai pemahaman ajaran agama masing-masing. Dalam Islam, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ adalah konsep tauhid.

‘‘Hanya atheisme yang tidak bergabung. Seban pancasila tidak memuat dan mencakup itu,’‘ kata Hamdan, yang kemudian disambut tepuk tangan hadirin seminar. (ahay)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network