Pesantren Ngaren: Cetak Santri Khusus Tahfidz

Santri menghafal al-Qur

Tak banyak yang tahu bahwa pesantren ini adalah pesantren khusus al-Quran tertua di Gresik. Pengasuh Pondok Pes Al-Munawariyah Sidomoro Bululawang Malang, tempat pelaksanaan Muktamar XI Jatman awal Januari lalu, KH Maftuh Said, ternyata lahir dan dibesarkan di pesantren ini.

Gresik – Pesantren ini bermula dari pengajian al-Quran yang dijalankan (alm) KH Muhammad Sa’id Mu’in kepada putra-putrinya. Pengajian di rumah Kiai Said ini berjalan sejak sekitar tahun 1964. Sejak tahun itulah, kegiatan pengajian dan menghafal al-Quran terus berjalan hingga sekarang.

Masyarakat luar Gresik lebih mengenal pesantren ini dengan pesantren Ngaren. Sebab, lokasinya berada di Dusun Ngaren, yakni di Desa Sungonlegowo Kecamatan Bungah, Gresik. Pesantren ini sebenarnya tidak memiliki nama secara resmi. Para santri dan masyarakat sekitar yang menyebutnya dengan pesantren Tahfidzul Quran.

Seiring perjalanan waktu, kian banyak masyarakat yang menitipkan putra-putrinya untuk dididik membaca dan menghafal Al-Quran. Tidak ada pengajian lain, selain hanya belajar membaca dan menghafal al-Quran. “Pada waktu itu, jangankan untuk menghafal, anak-anak bisa membaca Al-Quran dengan baik saja, masyarakat sudah sangat bahagia,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Ngaren KH Muhammad Nur, mengisahkan.

Jujukan Al-Quran
Perjalanan menuju Pesantren Ngaren dari Kota Gresik bisa ditempuh dengan naik angkot jurusan Bungah. Namun, dari Kecamatan Bungah ke desa Sungonlegowo tidak ada angkotan umum. Maklum, lokasinya di pedesaan dan hanya bisa dilalui dengan naik ojek. Berjarak sekitar tiga kilo meter lebih, ke arah timur dari Kecamatan Bungah.

Gus Nur – demikian biasa dipanggil – menjelaskan, semasa hidupnya, KH Sa’id dalam mengajar membaca dan menghafal Al-Qur’an bagi putra-putri dan para santrinya dikenal sangat keras. Hasilnya, seluruh putra-putri Kiai Said berhasil menghafal Al-Quran. Hampir semua santri yang pernah dididik Kiai Said juga banyak yang hafal. Sebuah kenyataan yang sulit dicari padanannya. “Ini karena berkat kedisiplinan (alm) abah dalam mendidik,” tutur alumnus Pesantren Al-Falah Winonga Pasuruan ini.

Gus Nur menceritakan, kedisiplinan KH Sa’id dalam mengajarkan Al-Quran diakui oleh para kiai pada masanya. Tak heran, KH Abd Hamid Pasuruan pernah memberi julukan bagi Kiai Said dengan sebutan “asadul Qur’an” (harimaunya Al-Quran). Sebab itulah, pesantren ini hingga saat ini tetap memfokuskan diri pada membaca dan menghafal al-Quran.

Pesantren Ngaren diakui cukup berhasil menerapkan sistem pendidikan tahfidz al-Quran. Pengakuan ini bukan hanya dari masyarakat biasa. Tidak sedikit para kiai pengasuh pondok pesantren ketika hendak membuka lembaga Tahfidz Al-Quran di pesantrennya, terlebih dahulu harus bertandang ke Pesantren Ngaren untuk sekadar memohon restu dan petunjuk.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan Sumenep Madura, (alm.) KH Moh Idris Djauhari, misalnya, pernah datang bersilaturrahim ke KH Muhammad Sa’id Muin di Pesantren Ngaren. Kedatangan Kiai Idris tersebut juga untuk memohon restu saat berencana akan membuka program Ma’had Tahfidz di PP Al-Amien.

Meski tercatat sebagai pesantren khusus menghafal al-Quran dan berhasil melahirkan banyak santri hafidz han hafidzah, Pesantren Ngaren belum pernah mengirimkan santrinya mengikuti perlombaan al-Quran, seperti Musabaqah Hifdzil Quran (MHQ). “Abah (alm KH Said, red) sendiri tidak memperbolehkan santri ikut musabaqah, kurang tahu kenapa?,” kata pria kelahiran 1964 ini.

Kendati demikian, Gus Nur mengakui, secara pribadi sebenarnya telah banyak santri yang mengikuti MHQ. Namun kebanyakan dari mereka mengikuti MHQ setelah lulus dari pesantren.

Tanpa Target
Sejak wafat KH Muhammad Said pada tahun 2004, kepemimpinan Pesantren Ngaren diteruskan oleh KH Muhammad Nur, putra keenam, hingga sekarang.

Sebagai sebuah pesantren yang menitik beratkan pada program tahfidz Al Qur’an, Pondok Pesantren Ngaren sebenarnya tidak memasang target dalam menghafal al-Quran. Tak seperti pesantren tahfidz al-Quran pada umumnya. Namun, pesantren ini tetap selalu berupaya dapat meluluskan para santri yang hafal Al-Qur’an 30 juz secara bil ghoib.

“Tidak ada target khusus berapa tahun harus hafal, yang penting hafal dan dapat dijaga hafalannya,” tegas Gus Nur.

Kendati demikian, untuk santri usia belasan tahun, rata-rata dibutuhkan waktu tiga tahun dalam menghafal al-Quran. Saat ini, jumlah santri baik santri mukim maupun santri kalong, berjumlah 30 orang santri putra-putri. Santri kalong biasanya berasal dari masyarakat sekitar.

Santri mukim berasal dari Bangkalan, Surabaya, Lamongan, Bojonogoro, Kalimantan, dan dari daerah di kecamatan Bungah sendiri.

Jadwal kegiatan menghafal, pada malam hari dilaksanakan pada pukul 10 hingga 12 malam. Bakda shalat maghrib dan shubuh, digunakan untuk setoran hafalan kepada pengasuh. Pada siang hari, waktu santri menghafal pada pukul 10 hingga pukul 12. Ini bagi santri yang sudah tidak sekolah.

Hingga saat ini, Pesantren Ngaren belum menyediakan lembaga pendidikan formal tersendiri. Para santri menempuh pendidikan sekolah di luar pesantren. Yakni SDN 1 Sungonlegowo, MTs Al-Azhar dan MA Al-Azhar yang ada tidak jauh dari pesantren. “Saat ini belum perlu adanya lembaga pendidikan formal sendiri, karena di sekitar sini sudah banyak. Nah untuk program tahfidz ini yang belum ada,” kata Gus Nur beralasan.

Berjalan puluhan tahun, tentu banyak alumni yang telah banyak berkiprah di masyarakat. Sebagian sehabis mondok di Pesantren Ngaren, santri meneruskan ke pesantren lain. Para alumni antara lain ada ke Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruann dan PP Al Amien Prenduan Madura. Ada juga yang melanjutkan ke PTIQ di Jakarta. “Meneruskan ke mana pun tak masalah, yang penting Al-Quran tetap berlanjut, hafalan jangan sampai lupa,” pesan Gus Nur. (ahay/saif)

Terkait

PESANTREN Lainnya

SantriNews Network